BANTUL, KOMPAS — Sikap gotong royong harus terus dihidupkan di tengah masyarakat untuk menjaga rasa persatuan dalam keberagaman. Masyarakat hendaknya tidak menonjolkan perbedaan satu sama lain, tetapi melihat keberagaman sebagai sebuah kekuatan bersama. Berbuat kebajikan kepada sesama manusia mampu menguatkan rasa persatuan dan kesatuan tersebut.
Hal itu mengemuka dalam acara ”Halaqah Kebangsaan Menuju Indonesia Berkemajuan” yang diselenggarakan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (22/11/2018).
”Kegotongroyongan perlu terus dibicarakan. Semuanya dilakukan untuk berbuat berbagai kebajikan secara sukarela kepada sesama manusia. Lewat ini, persatuan bangsa dapat terwujud,” kata Abdul Munir Mulkhan, Guru Besar Filsafat Pendidikan Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, dalam acara itu.
Munir mengungkapkan, Muhammadiyah berusaha melakukan kebajikan melalui gerakan-gerakannya yang sarat nuansa kemanusiaan demi mewujudkan keadilan sosial. Mereka membentuk lembaga pendidikan, rumah sakit, rumah miskin, panti asuhan, dan sebagainya secara swadaya guna menjadi basis ketahanan sosial.
”Semuanya bergotong royong sesuai dengan kemampuannya. Jika ini menjadi basis ketahanan sosial, dampaknya dapat mengikis kriminalitas, korupsi, keterpaparan narkoba, serta terorisme,” lanjut Munir.
Ia menjelaskan, melalui berbagai gerakan kebajikan tersebut, sebenarnya yang sedang dilakukan adalah menumbuhkan rasa kebangsaan yang didasari oleh kemanusiaan. Fokus pergerakan adalah dalam ranah kehidupan sosial. Semua kegiatan yang dilakukan itu demi kepentingan publik, bukan hanya pemilik agama tertentu.
”Masyarakat diminta berperan aktif tanpa melihat siapa yang menghadapi persoalan itu dan sebagai pemeluk agama atau dari kelompok tertentu. Asalkan dia manusia, persoalan itu menjadi suatu hal yang harus dicari jalan keluar dan diselesaikan bersama,” tutur Munir.
Kepala Satuan Tugas Nusantara Polri Inspektur Jenderal Gatot Eddy Pramono menyatakan, rasa persatuan yang sudah ada dalam setiap diri masyarakat jangan dirusak dengan ditebarkannya semangat disintegrasi bangsa. Keberagaman harus dilihat sebagai suatu hal yang saling melengkapi dan menguatkan, bukan malah memecah belah.
”Indonesia adalah rumah keberagaman. Kita harus jaga betul persatuan dan kesatuan bangsa ini. Jangan perbedaan-perbedaan kecil yang ada kita angkat menjadi besar sehingga menimbulkan gesekan-gesekan dan konflik sosial,” ucapnya.
Eddy mengimbau masyarakat yang beragam ini justru saling mencari persamaan satu sama lain sebagai sebuah bangsa. Hal itu diyakininya mampu membuat semangat persatuan bangsa semakin menguat mengingat saat ini tengah memasuki tahun politik yang bisa saja disusupi agenda-agenda oleh segelintir oknum yang ingin memecah belah bangsa ini.
”Kesamaan-kesamaan menjadi modal kita dalam merajut persatuan dan kesatuan bangsa. Masa pemilu ini bisa saja orang memasukkan agendanya untuk memecah belah kita melalui berita bohong, ujaran kebencian, isu sara, dan sebagainya,” ujarnya.
Eddy mengakui, tingkat literasi masyarakat memang masih rendah sehingga mudah terpancing untuk memercayai berbagai hoaks yang beredar. Masyarakat diharapkan mampu menyaring informasi yang diterimanya melalui informasi pembanding. Hal itu penting untuk menemukan kebenaran dan mencegah masyarakat terjerat oleh berita-berita yang menyesatkan dan kerap bermuatan ujaran kebencian.
Selain itu, Eddy meminta tokoh masyarakat tidak menyebarkan pernyataan-pernyataan yang memecah belah masyarakat. Mereka diminta membuat kondisi sosial tetap sejuk di tengah situasi politik yang memanas lewat pernyataan-pernyataan mereka.
”Bangsa kita ini masih bangsa yang mengedepankan patron. Patuh kepada pemimpin organisasi. Ketika pemimpinnya menyampaikan hal yang baik, pasti akan diikuti oleh pengikutnya,” kata Eddy.
”Situasi panas itu kita dinginkan dengan turut sertanya tokoh-tokoh masyarakat untuk menjadi cooling system. Suhu politik yang memanas itu ya didinginkan,” lanjutnya.