JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tidak tinggal diam dengan banyaknya kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi sepanjang 2018. Pemerintah akan memperkuat penerapan sistem merit untuk mencegah terjadinya suap atau korupsi di lingkungan pemerintahan pusat ataupun daerah.
Komitmen memperkuat penerapan sistem merit disampaikan Deputi II Kepala Staf Kepresidenan Yanuar Nugroho, di Jakarta, Jumat (23/11/2018). ”Pemerintah akan melakukan penguatan penerapan sistem merit dan melakukan pengawasan tata kelola sistem merit berbasis teknologi informasi,” ujarnya.
Dengan sistem merit, kebijakan serta manajemen sumber daya manusia aparatur sipil negara (ASN) diatur berdasarkan kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar. Cara tersebut dianggap ideal untuk mencegah munculnya jual-beli jabatan.
Melalui sistem merit, konflik kepentingan dalam penentuan seleksi jabatan pimpinan tinggi di pusat ataupun daerah bisa dikurangi. Dengan begitu, celah untuk jual-beli jabatan bisa dihilangkan.
”Ini juga sesuai dengan permintaan Presiden bahwa seleksi dan promosi ASN harus berbasis sistem merit dan tidak boleh lagi ada kasus jual-beli jabatan,” tutur Yanuar.
Melalui sistem merit, konflik kepentingan dalam penentuan seleksi jabatan pimpinan tinggi di pusat maupun daerah bisa dikurangi. Dengan begitu, celah untuk jual-beli jabatan bisa dihilangkan.
Penguatan penerapan sistem merit juga merupakan salah satu komitmen pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi.
Pengawasan masyarakat
Dalam kesempatan berbeda, Koordinator Kerja Sama Internasional Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia (UI) Vishnu Juwono mengungkapkan tentang pentingnya kesadaran warga terhadap pegawai daerahnya yang korupsi. Di wilayah dengan tingkat pendidikan dan pendapatan rendah, warga masyarakat masih sering tergoda dengan pemberian sesaat yang dilakukan, seperti pembagian sembako. Pemberian-pemberian itu mengakibatkan warga menjadi bias dan hanya melihat kebaikan-kebaikan yang didapat dari pemimpinnya. Kondisi semacam ini dimanfaatkan oleh oknum pemimpin daerah untuk memperkaya diri.
”Padahal, akibatnya akan ditanggung oleh warga di daerah. Mereka tidak dapat menikmati fasilitas-fasilitas umum, seperti jalan yang layak atau pelayanan publik yang optimal,” ujar Vishnu.
Menurut dia, kurangnya kesadaran publik tersebut membuat praktik korupsi kian menjamur. Partisipasi masyarakat dalam mengawasi pemerintahan dan mengkritisi kebijakan juga diperlukan.
Menurut Vishnu, korupsi di daerah biasa dilakukan oleh aparatur negara dan pengusaha setempat yang memiliki pengaruh yang cukup kuat. ”Para pengusaha bertindak sebagai penyandang dana dengan ’berinvestasi’ pada salah satu elite politik di wilayah,” jelas Vishnu.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, sejak desentralisasi kekuasaan berlaku pada era Reformasi, masyarakat berada pada posisi yang kurang menguntungkan. Di mata partai politik dan kadernya, mereka dipandang sebagai pemilih yang dapat memenangkan partainya. (LORENZO MAHARDIKA)