JAKARTA, KOMPAS – Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan sedang disusun untuk menanggulangi potensi terorisme. Selain penguatan peraturan, kajian menyeluruh tentang kelompok ekstremis diperlukan untuk mengidentifikasi solusi yang tepat.
Manajer Program Wahid Foundation Alamsyah M Dja’far mengatakan, pihaknya dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bekerja sama menyusun Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstremisme Kekerasan. Menurut dia, sudah saatnya Indonesia memiliki kebijakan komprehensif untuk menangani ekstremisme kekerasan.
“Rencana ini sudah disusun. Sekarang sedang dalam tahap izin prakarsa kerja sama dengan BNPT. Semoga tahun depan sudah bisa ditandatangani oleh presiden,” kata Alamsyah di Jakarta, Selasa (27/11/2018). Dia menyampaikan hal itu dalam bedah buku bertajuk “Menghalau Ekstremisme: Konsep dan Strategi Menangani Ekstremisme Kekerasan di Indonesia” dan “Ketahanan Keluarga: Paradoks Radikalisme dalam Keluarga Indonesia”.
Ekstremisme terjadi dalam beberapa tahap. Tahap itu dimulai dari intoleransi, radikalisme, ekstremisme, hingga akhirnya menjadi terorisme. Dalam praktik yang ditemui sehari-hari, ekstremisme dibagi menjadi dua, yaitu ekstremisme kekerasan dan ekstremisme nonkekerasan.
Alamsyah mengatakan, ada empat pilar utama dalam rencana aksi nasional yang sedang disusun. Pertama, pencegahan ekstremisme di kalangan masyarakat. Kedua, deradikalisasi terhadap pihak-pihak yang telah terpapar oleh radikalisme. Ketiga, harmonisasi kebijakan-kebijakan yang berlaku untuk mencegah intoleransi. Keempat, kerja sama antara pemerintah, masyarakat sipil, dan organisasi internasional untuk merumuskan, memantau, dan mengevaluasi program-program penanganan ekstremisme.
“Ada lebih kurang 150 aksi yang sedang dirumuskan,” kata Alamsyah.
Menurut Direktur Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal (Pol) Hamli, selama ini, pemerintah telah melakukan tiga upaya menangani terorisme dan ekstremisme. Ketiga upaya itu adalah pendekatan secara keras, pendekatan secara lembut, dan kerja sama dengan pihak internasional.
“Ibarat kapal yang bocor, kita harus melakukan upaya-upaya terobosan yang bisa menambal kebocoran itu (radikalisme dan ekstremisme). BNPT tidak bisa bekerja sendiri. Kita harus bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan,” kata Hamli.
Ekstremisme masih rawan terjadi di Indonesia, baik ekstremisme kekerasan, maupun nonkekerasan. Menurut hasil survei Internal NGO Forum for Indonesia Development (INFID) tentang Persepsi Anak Muda terhadap Radikalisme dan Ekstremisme dengan Kekerasan, sebanyak 22,2 persen responden setuju kekerasan adalah cara tepat menghadapi kelompok bukan Islam. Sebanyak 47 persen setuju akan larangan menyelamati perayaan hari raya agama lain (Kompas, 7/12/2017).
Pendekatan dinamis
Sejumlah pendekatan dinamis perlu dilakukan untuk menangani ekstremisme di Indonesia. Untuk melakukannya, kajian dan pemahaman menyeluruh tentang latar belakang penganut ekstremisme perlu diperhatikan.
Salah satu penulis buku “Menghalau Ekstremisme: Konsep dan Strategi Menangani Ekstremisme Kekerasan di Indonesia”, Siti Darojatul Aliah mengatakan, sejumlah pendekatan terhadap pihak-pihak yang terpapar ekstremisme telah dilakukan. Namun, tidak semua pendekatan yang dilakukan berhasil.
“Faktor orang menjadi radikal dan ekstrem itu beragam. Jadi, penanganan dan pendekatannya tidak bisa diseragamkan. Ideologi bukan satu-satunya pemicu radikalisme dan ekstremisme, tapi ada aspek sosial, budaya, ekonomi, dan politik,” kata Siti.
Siti mengatakan, kini dia tengah mencoba pendekatan berbasis personal atau one-to-one approach. Pendekatan ini menuntut pemahaman menyeluruh tentang pihak yang terpapar radikalisme sehingga penanganannya bisa lebih terarah. Namun, dia belum dapat memastikan efektivitas pendekatan itu. Sebelumnya, dia telah mencoba pendekatan berbasis ekonomi. Pendekatan ekonomis dinilai oleh Siti tidak efektif.
Menurut Dosen Kajian Terorisme Pascasarjana Universitas Indonesia Imdadun Rahmat, penanganan ektremisme perlu disertai dengan perlindungan terhadap masyarakat. Menurut dia, masyarakat belum memiliki imunitas yang baik terhadap ekstremisme. Oleh sebab itu, masyarakat perlu dibekali dengan pandangan keagamaan yang moderat, damai, dan inklusif.