JAKARTA, KOMPAS — Kepolisian Negara RI meningkatkan antisipasi berbagai modus kejahatan siber yang dianggap berakibat buruk bagi kehidupan sosial. Melalui patroli siber, Polri berupaya mengutamakan upaya mediasi kepada pihak yang dianggap telah menggunakan media sosial untuk merugikan orang lain, sedangkan penegakan hukum menjadi langkah pamungkas untuk memberikan efek jera.
Selain hoaks dan ujaran kebencian, Polri juga memberikan perhatian terhadap berbagai narasi dan informasi yang bersifat penghinaan dan pencemaran nama baik. Hal itu bisa dilakukan dengan memberikan informasi yang tidak tepat dan menghina kondisi fisik orang lain.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menjelaskan, selain penyebaran hoaks yang dapat menciptakan kehidupan di ruang publik, terdapat pula upaya penghinaan terhadap kondisi fisik seseorang yang berpotensi menurunkan kepercayaan diri seseorang. Berbagai tindakan yang bertentangan dengan norma-norma di masyarakat itu, lanjutnya, hadir seiring perkembangan pesat media sosial.
Atas dasar itu, Polri memiliki dasar hukum, yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang menjadi bekal untuk memberi batasan terhadap aktivitas di dunia maya.
”Penggunaan UU ITE untuk mengatasi kasus di media sosial karena penghinaan yang langsung viral bisa dilihat oleh jutaan orang. Hal itu berdampak buruk bagi individu yang menjadi obyek penghinaan itu,” ujar Dedi, Rabu (28/11/2018), di Jakarta.
Khusus untuk kasus penghinaan dan pencemaran nama baik di media sosial, selama 2018 Polri menerima 966 laporan. Dari jumlah itu, 374 laporan telah selesai ditangani secara hukum.
Meskipun berbagai kejahatan pidana merupakan delik aduan, ia mengatakan, Polri juga melakukan patroli siber untuk mencegah dan mendeteksi pelanggaran pidana di ranah digital. Dedi menegaskan, penegakan hukum bukan langkah satu-satunya yang dilakukan aparat keamanan.
Sebab, dengan kondisi sumber daya yang terbatas, lanjutnya, kepolisian tidak bisa selalu menangani kasus hukum terkait pencemaran nama baik dan penghinaan. Untuk itu, Polri juga berupaya melakukan mediasi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam kasus penghinaan dan pencemaran nama baik itu. Harapannya, hadir kesepahaman bersama sehingga kasus itu tidak perlu ditangani secara hukum.
Saring
Oleh karena itu, Dedi berharap masyarakat pengguna media sosial untuk mengutamakan saring informasi terlebih dahulu sebelum membagi informasi atau menyampaikan gagasan di dunia maya. Upaya saring itu, ujarnya, harus didasari dengan norma sosial yang berlaku di Indonesia.
”Jejak digital tidak bisa dihapus dan bisa dijadikan alat bukti dalam peristiwa pidana. Sebab, orang yang merasa dirugikan memiliki hak untuk melaporkan ke kepolisian,” katanya.
Kriminolog Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, menyatakan, kehadiran berbagai modus dan jenis kejahatan di dunia digital tidak lepas dari tingginya dinamika dunia maya sehingga memberi pengaruh bagi kehidupan masyarakat. Dalam praktiknya, masyarakat juga memahami bahwa media sosial dapat menjadi alat untuk melakukan tindakan baik atau buruk.
”Penegakan hukum yang telah dilakukan Polri adalah langkah awal yang baik untuk memberikan terapi kejut. Namun, untuk mengontrol media sosial sangat sulit sehingga perlu ada strategi, jaringan, dan koordinasi lintas aparat keamanan untuk menangani permasalahan kejahatan siber,” kata Bambang.