JAKARTA, KOMPAS – Fakta bahwa radikalisme menguat di kalangan milenial patut diakui dan diwaspadai. Untuk menghadapi radikalisme, penguatan peran keluarga dan penyebarluasan narasi kontra radikalisme di media sosial dibutuhkan.
“Radikalisme yang menguat itu benar adanya,” kata pakar radikalisme dan mantan tokoh Jamaah Islamiah, Nasir Abbas, Jumat (30/11/2018). Hal itu ia sampaikan pada seminar bertajuk ”Muslim Milenial: Menguatnya Radikalisme dan Tantangan Wawasan Kebangsaan” di Jakarta.
Menurut data dari Alvara Research Center, sebanyak 17,8 persen mahasiswa dan 18,4 persen pelajar menyetujui khilafah sebagai bentuk negara yang ideal. Sementara itu, 16,8 persen mahasiswa dan 18,6 persen pelajar menyetujui Islam sebagai ideologi Indonesia.
Hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan, sebanyak 51 persen mahasiswa/siswa muslim beropini intoleran terhadap aliran Islam minoritas, misalnya Syiah dan Ahmadiyah. Sementara itu, sebanyak 58,5 persen mahasiswa/siswa muslim memiliki pandangan keagamaan yang radikal.
Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Sukron Kamil mengatakan, era disrupsi digital berperan penting dalam persebaran radikalisme. Menurut dia, paparan radikalisme banyak diperoleh melalui media sosial, seperti Whatsapp, Instagram, dan lainnya. Hasil riset PPIM UIN menyatakan, sebanyak 54 persen milenial mencari pengetahuan agama melalui blog, laman, dan media sosial.
“Lewat media sosial, setiap orang bisa beropini. Padahal mereka bukan ahlinya atau disebut death of expertise. Sekarang, siapa yang menguasai media sosial dan kekuatan-kekuatan teknologi informasilah yang akan kuat dalam memengaruhi bangsa ini,” kata Sukron.
Menurut Sukron, perlu ada gerakan atau kampanye yang lebih aktif untuk melawan radikalisme. Pendidikan dan ceramah keagamaan yang terbuka, toleran, dan inklusif dianggap dapat menjadi salah satu cara melawan radikalisme.
Rentan
Kelompok milenial atau remaja dinilai rentan terhadap paparan radikalisme. Menurut psikolog dan peneliti radikalisme Arijani Lasmawati, remaja cenderung berpikir secara lebih ekstrem. Padahal, pemahaman remaja terhadap isu tertentu masih belum sempurna. Menurut dia, kematangan berpikir remaja akan tumbuh seiring dengan berjalannya waktu.
“Maka dari itu remaja menjadi target bagi kelompok radikal. Remaja masih mudah diombang-ambingkan,” kata Arijani.
Nasir mengatakan, kelompok penganut radikalisme memiliki sejumlah cara untuk merekrut kaum milenial untuk berpikir dan berperilaku radikal. Salah satu caranya adalah dengan mengajak orang lain berdiskusi dan membandingkan Alquran dengan Pancasila secara persuasif. Selain itu, paparan radikalisme juga dilakukan dengan memahami ajaran agama tertentu secara tekstual, bukan secara keseluruhan.
Peran keluarga, kelompok masyarakat, dan sosok panutan menjadi kunci awal untuk menangkal radikalisme. Menurut Arijani, fase pembentukan identitas diri dipengaruhi oleh ketiga pihak tersebut, terutama keluarga.
“Sangat penting bagi orangtua untuk menjaga anaknya dengan baik dan menjadi medium sehingga anak memiliki frame yang toleran dan inklusif,” kata Arijani.
Kepala Bidang Kajian Strategis Gerakan Pemuda Ansor Mohammad Nuruzzaman mengatakan, penanganan radikalisme bukan tanggung jawab satu pihak saja, melainkan tanggung jawab semua orang. Menurut dia, sesungguhnya, mayoritas penduduk Indonesia tidak setuju dengan radikalisme. Oleh sebab itu, kepedulian dari pihak mayoritas diperlukan untuk menentang radikalisme.
“Kelompok mayoritas yang menentang kelompok ini harus bersama-sama menolak (radikalisme). Jangan hanya diam dan mendengarkan. Dulu, penduduk mayoritas Afganistan menolak adanya Taliban. Tapi, Taliban akhirnya berhasil menguasai Afganistan karena penduduk mayoritas tidak bersuara,” kata Nuruzzaman.
Menurut dia, dengan banyaknya milenial yang menggunakan media sosial, persebaran radikalisme dapat diredam dengan menyebarkan narasi tandingan terhadap radikalisme. Selain itu, persebaran radikalisme juga dapat dicegah dengan mengikuti beberapa tokoh di sosial media yang dapat memberi pandangan agama yang baik, toleran, dan damai.
“Milenial pun harus disadarkan bahwa radikalisme itu nyata. Fakta-fakta itu harus dipaparkan kepada milenial. Konten-konten di sosial media juga harus diperbanyak dengan kontra narasi,” katanya. (E07/SEKAR GANDHAWANGI)