Saatnya Anak Muda Peduli Antikorupsi
Darimana bangkitnya bangsa kita kalau masih banyak vampir vampir penghisap darahDarimana majunya negerikalau korupsi dan kolusi menjadi budaya (Tiga Warna Musik)
Kegetiran yang jamak dirasakan, tapi nyatanya tak menghentikan para koruptor beraksi. Lirik milik Tiga Warna Musik, band yang menjadi Juara II dari Festival Lagu Suara antikorupsi 2018, ini kerap menjadi topik obrolan warung kopi di pinggir jalan hingga bahan diskusi serius kalangan akademisi dan pemerintah. Ironisnya, korupsi seolah tidak terobati.
Dian Prastyo dan Susilo, dua personel band asal Surabaya (Jawa Timur), menyuarakan kegelisahan yang umum tersebut dalam sebuah alunan musik. Melalui lagu berjudul “Dang Ding Dong” yang dibalut komposisi musik reggae, keduanya dibantu dengan dua rekan lainnya mengisahkan hukum yang tak adil dan politik sebagai arena pertarungan yang penuh dengan intrik kotor.
Namun. ada yang menarik dari lagu tersebut. Di verse pembuka, Dian menyindir pada orang-orang yang memiliki ketertarikan pada politik yang hanya sekadar omong kosong. Simak penggalannya berikut ini: Bermain musik ala dang ding dong/ Kau masih suka politik/ sama juga bohong.
Dalam buku berjudul Anxieties/Desires: 90 Insight for Marketing to Youth, Women, Netizen, musik disebut menjadi salah satu simbol perlawanan. Orang-orang yang dekat dan menggeluti musik, umumnya adalah individu yang bebas dan jarang bersedia terjun dalam hiruk pikuk politik. Faktanya kini berbeda, jika melihat ke Gedung DPR RI. Belum lagi keberadaan anak muda yang kini juga akrab dengan politik.
Tak sepenuhnya salah, mengingat politik berpengaruh banyak terhadap tiap lini kehidupan. Berbagai kebijakan sampai formula pemberantasan korupsi juga dihasilkan dari langkah politik. Febrian Nindyo, gitaris band HIVI!, yang tampil sebagai bintang tamu dalam pagelaran tahunan yang digagas Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut dan cukup berpengaruh terhadap anak muda masa kini justru memberi semangat sudah waktunya anak muda peka terhadap situasi politik.
“Jangan tidak peduli. Enggak perlu terjun langsung. Cukup mulai peduli, baca berita. Jangan hanya sibuk baper dan galau karena cinta. Karena musuh kita di negeri ini cuma satu, koruptor. Jadi, ayo lawan bersama,” ujar Febrian yang mengaku baru kali ini turun langsung dalam festival musik yang secara khusus mengirim pesan antikorupsi.
Selain Tiga Warna Musik, delapan finalis lain juga tampil di panggung yang berada di Plaza Festival Jakarta, Jumat (30/11) malam. Antara lain, Inoe (perwakilan Tangerang), DNA (perwakilan Lampung), One Zero (perwakilan Malang), Akar (perwakilan Medan), Den Orens (perwakilan Banjarmasin), Novice (perwakilan Cilacap, serta Alma dan Meriam (perwakilan Yogyakarta).
Sembilan finalis ini berhasil menyisihkan lebih dari 220 karya musik yang masuk. Awalnya, para musisi muda ini mengikuti Klinik Musik Antikorupsi yang juga digelar di 9 kota. Lewat Klinik Musik Antikorupsi yang dibantu oleh musisi profesional seperti Robi dari Navicula, Che dari Cupumanik, Endah dari Endah n Rhesa, serta Istiqamah Jamad yang pernah menggawangi Payung Teduh, para peserta diberi pemaknaan mengenai isu korupsi dan aransemen musik.
Berbeda dengan tahun sebelumnya yang memotret korupsi dari sisi beragam hingga mencoba menggambarkan kondisi psikologis anak koruptor, para peserta Festival Lagu Suara Antikorupsi 2018 ini mengangkat sisi korupsi dari perspektif yang seragam. Beberapa memilih syair lagu yang mengobarkan semangat dan dukungan anti korupsi. Sedangkan yang lainnya, menyoroti ketidakadilan dan kegelisahan yang terjadi selama korupsi masih ada. Band Akar yang berasal dari Medan melalui lagu berjudul “Anti Korupsi” pun menjadi juaranya.
“Saya yakin hari ini merupakan momentum sejarah. Kemungkinan kalau ini diputar di Gedung DPR atau diputar di mobil-mobil pejabat, mudah-mudahan syaiton keluar dari dalam mobilnya bahkan dari Gedung DPR sehingga dia tidak korupsi,” kata Wakil Ketua KPK Saut Situmorang yang turut menjadi juri dalam acara musik ini.
Dalam kesempatan ini, Robi dari Navicula juga mempersembahkan sebuah lagu berjudul “Biarlah Malaikat” yang didedikasikan kepada Novel Baswedan. Lirik pembuka lagu tersebut cukup menyentuh yakni: Aku heran setelah sekian lama/ tak ada tanda-tanda keadilan tiba/ Aku tahu bukannya kau tak mampu/ semua tahu karena kau tak mau.
Hampir 600 hari kasus penyerangan terhadap Novel yang merupakan penyidik senior di KPK terjadi. Akan tetapi, pelakunya masih buram hingga saat ini. Banner bergambarkan wajah Novel juga dipajang oleh panitia di sisi samping panggung untuk mengingatkan publik bahwa pemerintahan saat ini memiliki pekerjaan rumah yang belum tuntas.
Uniknya lagi, panitia dari KPK juga menyediakan lokasi untuk pengunjung berfoto dengan menggunakan sejumlah aksesoris yang disediakan. Salah satu yang menggelitik adalah papan kecil yang menjadi idola para pengunjung bertuliskan “Kerjaan kok keluar masuk KPK. Apa biar selalu nongol di tipi. Kau pikir KPK itu agen artis,”
Sindiran keras bagi para koruptor yang tetap melenggang dan tersenyum meski terjaring operasi tangkap tangan KPK. Bahkan sebagian tak segan menuding KPK sengaja menjerat mereka karena alasan politik.
Festival musik ini merupakan salah satu sarana agar anak muda mulai membuka mata. Korupsi harus dilawan bersama. Mengingat pesan Soekarno yaitu: Beri aku 10 pemuda, niscaya akan ku guncangkan dunia. Negeri ini didirikan dan dibangun oleh para anak muda, maka oleh generasi muda juga negeri ini harus dirawat dan dijauhkan dari korupsi.