JAKARTA, KOMPAS – Kriminalisasi terhadap narasumber dalam pemberitaan pers sejatinya merupakan ancaman terhadap kebebasan pers itu sendiri, sebab antara narasumber dan produk pers yang dihasilkan merupakan satu bagian tak terpisahkan. Narasumber adalah salah satu unsur dari pemberitaan pers yang bila diancam kebebasannya, maka validitas pers melalui tindakan konfirmasi serta verifikasi tidak bisa direaliasasikan.
Dengan sendirinya, kriminalisasi terhadap narasumber (narsum), yang berujung pada pemenjaraan, berpotensi membuat orang takut berpendapat, mengemukakan pikirannya di depan umum, apalagi melontarkan kritik. Dalam kondisi seperti itu, tidak hanya kebebasan pers yang mati dan dirampas, tetapi demokrasi itu sendiri juga diancam.
“Kalau tidak ada narsum apakah bisa disebut sebagai suatu produk jurnalistik? Ketika narsum tidak ada, atau takut memberikan pendapatnya, bagaimana suatu produk pers bisa divalidasi dan bisa dipercayai oleh publik,” kata Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, saat menjadi pembicara dalam diskusi bertema, “Ancaman Kriminalisasi Narasumber Dalam Berita,” Selasa (4/12/2018) di Jakarta.
Dua pembicara lain hadir dalam diskusi itu, yakni Ketua Aliansi Jurnlis Independen (AJI) Jakarta Asnil Bambani dan Direktur Remotivi Roy Thaniago.
Ade mengatakan, selain narsum, unsur penting lain dari suatu pemberitaan ialah jurnalis itu sendiri, dan substansi atau isu pemberitaan yang diangkat. Ketiga unsur itu membentuk produk jurnalistik yang pertanggungjawabannya dilakukan oleh redaksi media bersangkutan. UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers telah mengatur pertanggungjawaban media tersebut.
“UU Pers tidak mengenal kriminalisasi media. UU Pers hadir untuk dekriminalisasi terhadap pers. Ketika terjadi perdebatan atau keberatan atas suatu pemberitaan, mekanisme yang harus dilewati ialah sengketa pemberitaan melalui Dewan Pers. Dewan Pers merupakan lembaga yang bisa menilai sejauhmana produk jurnalistik itu memenuhi kaidah jurnalistik yang disyaratkan. Polisi sebagai penegak hukum tidak bisa menilai hal itu,” katanya.
Perlindungan terhadap narsum pun merupakan kaidah dasar dalam praktik jurnalistik. Telah berlaku universal, jurnalis memiliki hak tolak untuk menyebutkan identitas narsum untuk melindungi keamanan dan keselamatan narsum. Perlindungan narsum dalam memberikan hak tolak adalah bagian dari perlindungan terhadap kebebasan pers itu sendiri. Dalam menjalankan peran kontrolnya, pers tidak bisa dipisahkan dari kebebasan narsum memberikan informasi dan mengemukakan pendapat. “Di banyak negara di dunia, seperti di Eropa, perlindungan narsum diletakkan sebagai perlindungan dasar bagi kebebasan pers,” kata Ade.
Serangan terhadap demokrasi
Asnil mengatakan, publik dilindungi haknya untuk berbicara di depan umum dan mengemukakan pendapatnya. Hal itu pun diatur oleh konstitusi. “Jika narsum dikriminalisasi dengan dilaporkan ke polisi, sama halnya kita kembali ke era kolonial saat semua kritik terhadap pemerintahan dibungkam dan dipolisikan. Begitu juga di masa Orde Baru. Padahal, kebebasan mengemukakan pendapat di depan umum yang dijamin oleh konstitusi itu wujudnya antara lain dengan berbicara melalui media massa,” katanya.
Bahkan, jika narsum dipolisikan, sebenarnya narsum itu berhak untuk melaporkan balik pihak yang melapor kepada polisi lantaran mereka dinilai menghalang-halangi hak warga negara berpendapat dan mengekspresikan pikirannya di depan umum yang dijamin konstitusi.
Bahkan, jika narsum dipolisikan, sebenarnya narsum itu berhak untuk melaporkan balik pihak yang melapor kepada polisi lantaran mereka dinilai menghalang-halangi hak warga negara berpendapat dan mengekspresikan pikirannya di depan umum yang dijamin konstitusi.
Roy mengatakan, peran pers sangat besar bagi tegaknya demokrasi. Oleh karena itu, ketika warga negara bisa memberikan informasi yang cukup dan memadai kepada pers, mereka turut berkontribusi terhadap demokrasi. Sebaliknya, jika narsum yang merupakan bagian dari kebebasan pers dikriminalisasi, maka sama saja dengan membunuh pers itu sendiri.
“Narsum adalah bahan baku pers. Kalau bahan bakunya dibunuh, ya pers sama saja dibunuh,” kata Roy.
Salah satu laporan terhadap narsum yang dijadikan contoh dalam diskusi ialah yang dialami oleh Juru Bicara Komisi Yudisial Farid Wajdi. Farid dilaporkan ke polisi oleh ketua-ketua pengadilan tinggi, dan pengurus Persatuan Tenis Warga Peradilan (PTWP) lantaran pendapatnya yang dimuat Kompas, 12 September 2018, dalam berita berjudul “Hakim di Daerah Keluhkan Iuran.” Bentuk kriminalisasi lain yang muncul ialah pelaporan terhadap salah satu jurnalis Tirto.id saat membuat liputan investigasi mengenai jual-beli ijazah.
“Pelaporan atau kriminalisasi terhadap narsum adalah serangan terhadap demokrasi dan pers itu sendiri. Isu tentang kebebasan berpendapat dan kriminalisasi narsum telah menjadi aspirasi kelompok tertentu yang tidak suka dengan kritisisme media. Insiden beberapa waktu belakangan ini merefleksikan cara pandang tertentu, yakni semacam budaya antiintelektual dalam masyarakat kita saat ini,” ujar Roy.
Budaya intelektual percaya dengan dialog, kritik, dan bahkan pada taraf tertentu pada konflik. Adapun budaya antiintelektual memraktikkan sebaliknya, yakni tidak menyenangi dialog dan kritik.
Budaya antiintelektual, menurut Roy, terlihat ketika sejumlah persoalan menyangkut kebebasan berpendapat muncul, misalnya pelaporan menajemen rumah sakit terhadap Prita Mulyasari beberapa tahun lalu, adanya manajemen apartemen yang melaporkan salah satu penghuninya karena mengunggah pendapatnya di media sosial, hingga hukuman yang dijatuhkan pengadilan pada guru Baiq Nuril di Lombok, Nusa Tenggara Barat, lantaran ia merekam percakapan atasannya yang diduga mengandung unsur pelecehan seksual.