Isu Korupsi di Panggung Politik
Isu pemberantasan korupsi masih menjadi salah satu isu paling menarik di panggung politik. Dalam kontestasi pemilihan presiden, isu tentang korupsi ini menjadi perdebatan cukup hangat, terutama ketika setiap calon presiden berusaha menampilkan dirinya memberikan perhatian penuh pada problem korupsi di Tanah Air.
Pertanyaannya, apakah pemberantasan korupsi di Tanah Air cukup menjadi retorika semata, dan publik harus menerima isu tersebut dikomodifikasi sedemikian rupa untuk meraih dukungan elektoral? Akal sehat mengatakan tidak. Namun, dalam dunia politik, isu itu ternyata masih “laku” memberikan atribusi pada kandidat demi meraih suara, kendati realisasi janji antikorupsi itu kerap masih dipertanyakan.
Sejumlah kajian dari Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menunjukkan isu tersebut stabil berada di posisi tinggi dalam benak publik. Publik menilai korupsi sebagai permasalahan yang harus diselesaikan. Dalam komunikasi politik, apa yang ada di benak publik menjadi sasaran dan kemasan pesan, karena pesan itu mengatribusi langsung terhadap apa yang selama ini dipandang penting oleh publik atau audiens.
“Dalam survei-survei yang kami lakukan untuk melihat rangking prioritas masalah, korupsi selalu dalam posisi tinggi. Artinya, kalau partai politik mengangkat isu korupsi sebagai talking point (poin pembicaraan) dalam kampanye mereka, itu punya efek yang cukup besar. Setidaknya masyarakat akan mencatat sejauhmana parpol atau seorang tokoh memerhatikan isu korupsi, dan itu menjawab keprihatinan mereka secara langsung,” kata Sirojudin Abbas, Direktur Program SMRC dalam acara bincang-bincang Satu Meja The Forum bertema “Ketika Korupsi Jadi Dagangan Politik,” yang disiarkan langsung KompasTV, Rabu (5/12/2018) malam, dan dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo.
Acara yang dibagi menjadi dua sesi itu juga menghadirkan pembicara lainnya, yakni Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif, sosiolog Universitas Indonesia Imam Prasodjo, Sekretaris Jenderal (sekjen) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Raja Juli Antoni, anggota DPR dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Budiman Sudjatmiko, dan Sekjen Partai Berkarya Priyo Budi Santoso yang juga mewakili tim sukses pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Wakil Ketua Umum Gerindra Feri Juliantono diundang dalam acara tersebut tetapi tidak hadir.
Fakta bahwa isu korupsi masih menjadi isu “seksi” mengemuka ketika Prabowo dalam sebuah acara “The World in 2019 Gala Dinner” yang digelar di Singapura, 27 November, menyebutkan maraknya korupsi di Indonesia seperti kanker stadium 4. Pernyataan ini dibantah oleh Presiden Jokowi di sela-sela peringatan Hari Antiokorupsi Sedunia yang digelar KPK, 4 Desember lalu di Jakarta. Jokowi balik mengatakan capaian indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia patut disyukuri karena meningkat signifikan dari tahun 1998, yakni dari yang terburuk di Asia Tenggara (skor 20), kini meraih skor 37.
Budiman yang juga mewakili timses Jokowi-Ma’ruf Amin menilai pernyataan Prabowo itu secara tersirat menunjukan pesimisme lantaran menyamakan kondisi korupsi di Indonesia seperti kanker stadium empat yang sukar disembuhkan. Retorika itu dipandang senada dengan pernyataan Indonesia akan bubar tahun 2030 yang pernah diungkapkan Prabowo sebelumnya.
“(Korupsi) banyak iya, menyebar, bermasalah, tetapi masih bisa disembuhkan tanpa harus bilang untuk mengatasi korupsi itu Indonesia harus mati. Kanker yang sudah merambat ini ada obatnya, dan ada optimisme untuk mencari obatnya,” kata Budiman.
Priyo di pihak lain memandang pernyataan Prabowo itu sebagai hal yang wajar saja, dan disampaikan sebagai bentuk peringatan kepada semua pihak. Ia mengapresiasi kinerja KPK yang secara konsisten melakukan penegakan hukum terhadap pelaku korupsi. Ikhtiar luar biasa KPK diakui, dan semua pihak sudah selayaknya bersatu padu mengawal pemberantasan korupsi.
“Pak Prabowo ini pemimpin yang mirip Soekarno muda. Suka menyampaikan hal-hal yang menggetarkan, menggentarkan, dan hiperbola. Dan saya kira itu wajar saja disampaikan sebagai warning untuk semuanya kini,” kata Priyo.
Terkait hal ini, Antoni memandang pernyataan Prabowo itu seolah bertolak belakang dengan fakta bahwa dirinya juga merupakan bagian dari persoalan masa lalu. “Korupsi tidak ujug-ujug (tiba-tiba) ada hari ini. Dia (Prabowo) melakukan demoralisasi terhadap Jokowi. Seolah Jokowi tidak melakukan apa-apa terhadap pemberantasan korupsi,” katanya.
Priyo membantah pendapat Antoni, karena Prabowo sebagai pemimpin adalah sosok yang sangat mencintai Indonesia, dan nasionalismenya tidak diragukan lagi. Prabowo juga memiliki keinginan yang luar biasa besar untuk membangun negerinya. Namun, Priyo sangat terganggu ketika perdebatan di publik menyangkut isu korupsi itu dibawa-bawa dan dikaitkan dengan mantan Presiden Soeharto.
Priyo keberatan dengan pernyataan politisi PDIP Ahmad Basarah di media massa yang menyebut mantan Presiden Soeharto sebagai “Guru Korupsi.” Menurut dia, setiap pemimpin pasti memiliki kelemahan, tetapi bila hanya keburukan itu yang diungkit-ungkit, tidak ada kemajuan yang bisa diraih bangsa ini.
Korupsi politik
Terlepas dari perang pendapat di media massa oleh politisi terkait dengan isu korupsi, Imam lebih menyoroti tingginya korupsi di tubuh DPR, birokrasi dan DPRD. Dengan kata lain, korupsi politik merupakan kanker yang paling parah saat ini dan harus segera disikapi. Ujung dari korupsi politik ini ialah parpol. “Pimpinan parpol telah menandatangani pakta integritas dengan KPK. Itu adalah sebuah komitmen yang bagus, tetapi harus betul-betul dilaksanakan dalam implementasinya,” katanya.
Korupsi politik ini juga menjadi sorotan KPK. Laode menyebutkan, ada dua hal yang mengakibatkan IPK Indonesia naiknya pelan sekali, bahkan pada 2016 ke 2017 stagnan di skor 37. Dua hal itu ialah korupsi di sektor penegakan hukum, dan korupsi di parpol (political party). “Jadi yang lain-lain, seperti ease of doing business (EODB) membaik, tetapi kalau korupsi di sektor penegakan hukum dan political party tidak bisa mengangkat untuk naik di atas skor 40-an, itu agak susah (untuk menaikkan IPK),” katanya.
KPK mengakui skor Indonesia belum memuaskan, karena dari 100 sebagai skor tertinggi, Indonesia baru mendapatkan skor 37. Angka itu masih jauh daripada negara-negara Skandinavia seperti Denmark, Finlandia, dan Swedia, serta negara tetangga Singapura, maupun Selandia Baru. Negara-negara itu memiliki skor IPK 80 sampai 90-an. Meski demikian, dibandingkan dengan negara tetangga, semisal Filipina dan Thailand, Indonesia masih lebih baik. Malaysia pun mengalami penurunan skor hingga di bawah 50.
Korupsi politik, menurut Laode, tidak bisa dipisahkan dari kecenderungan kekuasaan untuk korup. Kecenderungan ini pun bukan hal baru, dan persoalan di tubuh parpol menjadi akar terjadinya korupsi politik. Tiga persoalan di tubuh parpol memicu korupsi, yakni buruknya kaderisasi, lemahnya penegakan kode etik internal, dan belum akuntabelnya keuangan parpol.
Dalam perkembangannya, korupsi politik termasuk juga state capture corruption, yakni korupsi yang melibatkan negara atau representasinya. Hampir semua cabang kekuasaan, legislatif, eksekutif, dan yudikatif, yang merepresentasikan negara, turut terlibat dalam korupsi. Misalnya, korupsi yang melibatkan gubernur, bupati, atau anggota DPR dan DPRD.
Laode berpesan kepada kedua capres agar memenuhi janjinya memberantas korupsi. “Janji kampanyenya dipenuhi, tidak perlu dipidatokan saja, tetapi yang perlu diperbaiki ialah tata kelola pemerintahan dengan memperbaiki sistem perizinan, pengadaaan barang dan jasa, bansos, dan pajak. Selain itu, ada dua hal yang diperbaiki supaya IPK naik, yakni sektor penegakan hukum dan parpol,” katanya.