JAKARTA, KOMPAS – Serangan siber terhadap sistem informasi Pemilu 2019 tidak akan mempengaruhi hasil pemilu, tetapi bisa merusak kepercayaan terhadap penyelenggara pemilu, pemerintah, dan hasil pemilu yang akhirnya menganggu konsolidasi demokrasi. Ancaman serangan siber ini hanya bisa diminimalisasi apabila ada kolaborasi transparan yang melibatkan lembaga pemerintah, swasta, dan institusi internasional.
Kajian International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) yang dalam waktu dekat akan dipublikasikan, menunjukkan bahwa ancaman siber terkait pemilu yang muncul di beberapa negara umumnya berupa peretasan dan disinformasi. Dua serangan ini bisa diarahkan pada proses kepemiluan atau pemangku kepentingan kepemiluan dan kampanye.
Di Indonesia, kendati Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyediakan Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) yang menyajikan informasi rekapitulasi suara secara cepat, tetapi rekapitulasi suara resmi dilakukan secara manual dan berjenjang. Karena itu, serangan siber terhadap sistem informasi KPU tak berdampak pada rekapitulasi perolehan suara secara manual.
“Secara hukum yang sah itu rekapitulasi manual yang prosesnya berlangsung dua pekan setelah pemungutan suara bukan yang ada di sistem informasi. Tetapi (serangan siber) justru yang kena dampaknya masyarakat karena menimbulkan kebingungan,” kata peneliti Centre for Cyber Security and Cryptography Setiadi Yazid, dalam Diskusi Publik Tantangan Keamanan Siber dalam Pemilu 2019 yang diselenggarakan Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) dan International IDEA di Jakarta, Kamis (06/12/2018).
Pembicara lain yang hadir dalam diskusi itu ialah Peter Wolf, pakar teknologi informasi dan komunikasi International IDEA, anggota Komisi Pemilihan Umum Viryan Azis, Riko Rasota dari Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Nuriman yang mewakili Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga. Perwakilan Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin juga diundang panitia, berhalangan hadir.
Setiadi menyampaikan, serangan siber yang menganggu sistem informasi penyelenggaraan pemilu bisa menurunkan kepercayaan terhadap sistem dan hasil pemilu. Pemerintah kemudian dianggap tidak benar kemudian jadi kehilangan kepercayaan masyarakat. Menurut dia, peretas bisa individual, kelompok teroris, atau bisa juga negara yang ingin mengacaukan negara lain. Serangan semacam ini bisa bertujuan mengganggu sistem demokrasi.
Di tengah luasnya spektrum ancaman siber, Peter Wolf mendorong pentingnya kolaborasi di antara lembaga-lembaga pemerintahan, swasta, serta dengan institusi internasional. Sebab, mengatasi serangan siber memerlukan pendekatan yang holistik. Kerjasama itu bisa diawali dengan menjalin jejaring, kemudian pelatihan bersama, penilaian terhadap tingkat ancaman, komunikasi, simulasi kriris, hingga mekanisme respons.
Direktur Eksekutif Netgrit Sigit Pamungkas juga mengingatkan pentingnya KPU untuk membenahi infrastruktur sistem informasi dan sumber daya manusia yang menjalankannya sebelum Pemilu 2019. Hal ini penting dilakukan agar serangan terhadap Situng KPU yang terjadi pada Pilkada Serentak 2018 tidak kembali berulang. Saat itu, serangan terhadap Situng selain membuat sistem sulit diakses, juga menyebabkan perubahan data perolehan suara.
Menanggapi hal itu, anggota KPU Viryan Azis menuturkan, KPU sedang memperkuat sistem informasi dari sisi infrastruktur maupun tata kelola. KPU sudah membeli 20 server baru, kemudian juga menyelenggarakan penguatan bimbingan teknis teknologi informasi ke jajaran KPU hingga ke daerah. Dia juga mengaku KPU sudah berkoordinasi dengan lembaga negara terkait dalam satuan tugas keamanan teknologi informasi.
“Agar tidak ada kecurigaan para pihak, maka mekanisme kerjasama akan dibicarakan juga dengan peserta pemilu. Agar menjadi kesadaran bersama bahwa ini bukan untuk menguntungkan salah satu pihak. Tapi kepentingan bersama agar teknologi informasi aman dan dalam posisi yang bisa diterima semua pihak,” kata Viryan.