Operasi untuk mengatasi gerakan Organisasi Papua Merdeka tidak bisa hanya dengan operasi tempur. Pada prinsipnya, Organisasi Papua Merdeka hanya bisa dikalahkan dengan memenangkan hati dan pikiran rakyat Papua.
Serangan kelompok kriminal bersenjata (KKB) yang menewaskan minimal 19 orang, Minggu (2/12/2018), bisa dibilang insiden terakhir dari rentetan kekerasan di Papua. Dengan kekuatan jumlah dan senjata yang tidak seimbang, otomatis taktik dan strategi KKB adalah menyerang tiba-tiba dengan tempat dan waktu yang mereka pilih. Setelah itu, mereka akan mundur, menyembunyikan senjata, lalu berbaur dengan masyarakat.
Kiki Syahnakri, selaku Ketua Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD), mengatakan, harus digarisbawahi bahwa akar permasalahan OPM adalah tidak tercapainya keadilan sosial. Oleh karena itu, perlu ada keterpaduan seluruh pemangku kepentingan untuk bisa menyelesaikan hal ini.
Hal senada disampaikan mantan Ketua Unit Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B) Bambang Darmono. Ia menyebutkan, sering kali pemerintah pusat mendekati masyarakat Papua hanya dengan pendekatan sosial ekonomi. ”Selain ekonomi, politik, sosial dan budaya juga penting,” kata Bambang.
Ia menilai, walau integrasi teritorial Papua sudah selesai, integrasi sosialnya masih memiliki banyak ganjalan. Bertahun-tahun pemerintah pusat melihat pembangunan Papua dengan kacamata Jakarta. Padahal, bisa jadi apa yang diinginkan dan bisa dilakukan orang Papua berbeda dengan yang diinginkan Jakarta.
Perkebunan sawit yang didukung kepentingan modal yang kuat, misalnya, mengalahkan kebun cokelat yang sudah biasa ditanam masyarakat. ”Kita semua harus dekati Papua dengan hati,” lanjutnya.
Menurut Kiki, bahkan operasi militer yang utama bukanlah operasi tempur. Menurut dia, dengan operasi teritorial, militer pun bisa meraih pemihakan masyarakat.
Demikian juga dengan operasi intelijen. Informasi diperoleh tidak dengan mengejar lalu menginterogasi rakyat yang ditemukan di tengah hutan dan ladang. Akan tetapi, yang paling penting adalah memisahkan masyarakat dengan kelompok bersenjata tidak secara fisik, tetapi psikologis.
”Waktu saya di Timtim dulu, ada masyarakat memberi informasi yang valid, bukan karena diinterogasi, tapi karena ada mantri kesehatan tentara yang berhasil mengobati anaknya yang sakit,” ucap Kiki.
Politisi PDI-P yang mantan sekretaris militer Tubagus Hasanuddin menyebutkan, dalam penanganan KKB ini, ada dua operasi militer yang penting, yaitu operasi intelijen dan operasi teritorial. Untuk melaksanakan kedua hal ini, dibutuhkan prajurit yang juga paham sosial budaya dan bisa mengambil hati masyarakat.
”Operasi pengejaran menurut saya tidak efektif. Lebih baik operasi teritorial dan intelijen untuk dapat kepercayaan masyarakat. Kalau memang ada itikad, walaupun perlu waktu bertahun-tahun,” kata Hasanuddin.
Militer
Keterpaduan di antara segala pemangku kepentingan, mulai dari pemerintah daerah, masyarakat sipil, hingga TNI dan Polri, bukan berarti tidak ada operasi tempur militer. Namun, perlu digarisbawahi bahwa parameter keberhasilan bukan wilayah yang berhasil diduduki, tetapi pemihakan masyarakat. Untuk itu, dibutuhkan profesionalisme TNI yang sangat tinggi. Pasalnya, operasi tempur untuk lawan gerilya tidak pernah mudah.
Bambang Darmono menekankan, dengan adanya penembakan oleh kelompok bersenjata, mau tidak mau, TNI harus turun tangan. Akan tetapi, di lapangan harus ada pembagian yang tegas antara TNI dan Polri yang tugasnya menegakkan hukum. Ia menyayangkan belum sempurnanya arsitektur keamanan nasional. Hal ini membuat aktor-aktor keamanan seperti gagap dalam mengatasi situasi.
Sementara itu, Kiki mengharapkan, TNI, terutama TNI Angkatan Darat, memperbaiki manajemennya, mulai dari sistem intelijen hingga distribusi pasukan dan logistik, seperti bekal pokok amunisi di daerah rawan.
Tiap personel juga harus dilatih untuk bisa membedakan dengan cepat antara rakyat biasa dan kombatan. ”Harus dipelajari dengan teliti, bagaimana bedanya gerak-gerik kombatan dan rakyat,” kata mantan Wakil KSAD ini.
Perang melawan gerilya adalah operasi yang rumit. Dalam era informasi, semakin banyak ruang dan waktu, tidak terbatas pada medan fisik yang bisa dieksploitasi oleh gerilyawan. Dan, hampir selalu, waktu ada di pihak gerilyawan.