"Kita belum sepenuhnya terbebas dari politik identitas karena digunakan sebagai alat atau bagian di dalam kita berkompetisi di dalam pemilu. Itu yang menyedihkan sebetulnya. Suku, agama, dan ras itu masih menjadi sekat-sekat dalam kehidupan bermasyarakat," ujar Hendardi usai pemaparan Indeks Kota Toleran 2018, di Jakarta, Jumat (7/12/2018).
Hadir pula dalam acara itu, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Hariyono, Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama Saefudin, dan Kepala Satuan Tugas Nusantara Inspektur Jenderal (Pol) Gatot Eddy Pramono.
Sebelumnya, Setara Insitute dalam rentang waktu November 2017 hingga Oktober 2018 melakukan kajian terhadap 94 kota di Indonesia terkait isu promosi dan praktik toleransi. Sumber data penelitian diperoleh dari dokumen resmi pemerintah kota, data Biro Pusat Statistik, data Komisi Nasional Perempuan, data Setara Institute, dan referensi media terpilih.
Adapun, penilaian didasarkan pada empat variabel, yakni regulasi yang kondusif bagi praktik dan promosi toleransi, pernyataan tindakan aparatur pemerintah kota tersebut, tingkat peristiwa dan tindakan pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan, serta upaya kota tersebut dalam tata kelola keberagaman identitas keagamaan warganya.
Hasilnya, Setara Institute memberikan penghargaan kepada 10 peringkat kota dengan skor toleransi tertinggi. Kota-kota itu adalah Singkawang (6,513), Salatiga (6,477), Pematang Siantar (6,280), Manado (6,030), Ambon (5,960), Bekasi (5,890), Kupang (5,857), Tomohon (5,833), Binjai (5,830), dan Surabaya (5,823).
Sedangkan, ada 10 kota dengan skor toleransi terendah, yakni Sabang (3,757), Medan (3,710), Makassar (3,637), Bogor (3,533), Depok (3,490), Padang (3,450), Cilegon (3,420), Jakarta (2,880), Banda Aceh (2,830), dan Tanjung Balai (2,817).
Menurut Hendardi, toleransi harus menjadi perhatian utama, baik oleh pemerintah daerah, masyarakat sipil, maupun elite politik. Secara khusus, elite politik harus mampu ikut menghentikan tindakan-tindakan yang menggunakan politik identitas dalam konteks politik elektoral. Dengan begitu, toleransi menjadi etika kolektif dalam keragaman sosiokultural di suatu wilayah.
"Perbedaan bukanlah dalih untuk berkonflik antarwarga negara. Oleh karena itu, seluruh anak bangsa seyogianya memiliki ketahanan dari setiap infiltrasi oleh pihak manapun, termasuk oleh elite politik untuk kepentingan mobilisasi suara dalam kontestasi pemilu," ujarnya.
Jadi acuan
Sementara itu, Kepala BPIP Hariyono menuturkan, semangat toleransi dan Pancasila adalah prasyarat utama terciptanya persatuan. Tanpa ada itu semua, lanjut dia, persatuan tak akan terjaga.
"Tanpa ada toleransi, maka kita juga tidak bisa memajukan masyarakat dan bangsa. Pancasila pun tak hanya bicara masa lalu dan kekinian, tetapi bicara soal masa depan," kata Hariyono.
Tjahjo Kumolo sependapat bahwa semangat toleransi dan Pancasila harus terimplementasi dalam setiap keputusan politik di pemerintah daerah, baik penyusunan perencanaan program kerja dan penyusunan peraturan-peraturan daerah. Dengan begitu, masyarakat akan selalu diingatkan akan pentingnya dan luhurnya nilai-nilai Pancasila dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan.
"Jadi, kesadaran bahwa Indonesia adalah negara yang majemuk itu akan terbangun. Itu menjadi dasar kita dalam kehidupan antarumat beragama," kata Tjahjo.
Selain itu, Tjahjo juga menegaskan, seharusnya proses kontestasi politik tidak dibangun atas dasar diskriminasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), tetapi mengedepankan prestasi.
"Jangan sampai urusan memilih kepala daerah hingga presiden, isu-isu yang berputar menyangkut SARA, ujaran kebencian, justru mewarnai kontestasi kita. Ini penting sekali karena tantangan bangsa makin berat dan kompleks," tutur Tjahjo.
Belajar
Wali Kota Bekasi, Rahmat Effendi, mengatakan, pihaknya memang bertujuan untuk menjadikan Kota Bekasi sebagai miniatur Pancasila di Indonesia. Dia juga belajar dari kota Manado terkait cara menumbuhkan sikap toleransi antarumat beragama, terutama melalui pembentukan majelis umat beragama.
"Kota yang maju itu adalah kota yang masyarakatnya memberikan satu pengertian dalam hidup berharmonisasi antarumat beragama," ujar Rahmat. Dari data yang dimilikinya, Rahmat mengatakan, 15 persen atau 360 ribu dari 2,7 juta penduduk di Kota Bekasi merupakan warga nonmuslim.
Sedangkan, bagi Wakil Wali Kota Singkawang, Irwan, upaya menumbuhkan toleransi itu harus diawali dari pemikiran warganya. Warga tidak boleh merasa dominan di suatu wilayah sebab bangsa Indonesia terdiri dari beragam SARA.
"Dengan begitu, kita bisa saling menghargai," ujarnya.