Dibutuhkan Program Tepat Sasaran
JAKARTA, KOMPAS – Praktik deteksi dini dan pencegahan korupsi di Indonesia harus tepat sasaran sesuai dengan tindakannya. Penetapan standar terhadap sistem manajemen dalam lembaga swasta maupun negara perlu diterapkan.
Hal tersebut diungkapkan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007, Amien Sunaryadi, saat dihubungi dari Jakarta pada Minggu (9/12/2018) siang. Menurut Amien, program deteksi dini, pencegahan, dan penindakan terhadap tindakan korupsi di Indonesia harus dijalankan dengan selaras tanpa meninggalkan salah satu aspek.
Menurut hasil studi yang ia lakukan selama tiga tahun terakhir, bentuk korupsi terbanyak yang dilakukan di Indonesia adalah jenis suap. Praktik ini dinilai Amien sebagai jenis korupsi yang saat ini paling berbahaya. Oleh karena itu, sebaiknya negara memiliki program yang terstruktur untuk menanggulangi korupsi ini.
Amien mengatakan, salah satu upaya penindakan yang dilakukan KPK dengan Operasi Tangkap Tangan (OTT) sebenarnya sudah baik. Semakin banyak OTT yang dilakukan oleh KPK, oknum yang hendak melakukan perbuatan suap akan berpikir dua kali.
Kendati demikian, ia mengatakan masih ada bentuk penindakan lain yang harus dilakukan. KPK perlu membentuk tim investigasi forensik khusus yang bertugas untuk membongkar catatan keuangan, data komunikasi, transaksi, dan lainnya pada perkara-perkara yang tengah diselidiki. Pembuatan satuan tugas tersebut juga dapat mendeteksi praktik suap yang pernah dilakukan oleh seseorang atau lembaga tetapi belum diungkap oleh KPK.
Amien melanjutkan, kantor-kantor akuntan publik sudah cukup sering mendapat permintaan penyelidikan terhadap catatan keuangan sebuah perusahaan. Tugas mereka adalah mencari kejanggalan dalam catatan keuangan atau dugaan penyelewengan dana.
“Selama ini yang saya tahu, KPK belum melakukan ini. Efeknya dapat membantu kinerja mereka menjadi lebih baik,”
Selain itu, ia juga berpendapat bahwa sistem manajemen baik pada sektor swasta maupun pemerintah perlu diperbaiki. Banyaknya kasus suap di Indonesia merupakan imbas dari kurangnya standar perusahaan dalam hal pengelolaan antipenyuapan.
Manajemen antisuap
Setiap perusahaan, lembaga, kementerian, dan organisasi lainnya perlu memberlakukan Standar Nasional Indonesia (SNI) ISO 37001 tentang manajemen antisuap. Standar tersebut mengatur hal-hal yang perlu dilakukan oleh sebuah lembaga untuk mencegah terjadinya tindak suap. Sistem ini dapat dijalankan selaras dengan program anti korupsi yang telah ada pada sebuah instansi.
Langkah strategis yang dapat ditempuh selanjutnya adalah mendorong seluruh lembaga negara seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), dan badan usaha milik negara lainnya memperoleh sertifikat ISO 37001. Setelah itu, mereka mendorong pelaku usaha di bidangnya masing-masing untuk mendapat sertifikat yang sama.
“Dengan memiliki standar yang sama, seluruh perusahaan dan lembaga bisa dimonitor bersama dalam implementasi di lapangan agar suap dapat diminimalkan,” jelas Amien.
Perbaikan sistem dan standar yang ada juga tidak akan berlaku bila pemimpin lembaga tidak memberi contoh kepada para bawahannya. Pucuk pimpinan tertinggi harus berani berbicara mengenai bahaya praktik suap dan melaporkan kepada pihak berwenang bila perlu.
Sementara, ditemui di tempat terpisah Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif mengingatkan pentingnya peran masyarakat dalam pencegahan tindakan korupsi. Warga harus kritis terhadap keadaan yang terjadi di sekitar mereka.
Sebagai anggota masyarakat, mereka diminta untuk tidak menawarkan sogokan atau uang pelicin kepada aparat hukum atau aparat sipil yang bertugas. Warga juga perlu menanyakan informasi-informasi penting dalam pelayanan publik seperti biaya pembuatan surat berharga, lama pembuatan, dan lainnya.
Laode menambahkan, KPK akan bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Agama, dan Kementerian Riset dan Pendidikan Tinggi guna menjalankan program pendidikan anti korupsi di seluruh tingkat pendidikan. Program ini dijalankan guna memupuk kesadaran siswa terhadap bahaya tindakan korupsi sejak dini.
Rencananya, program tersebut akan dijalankan pada seluruh tingkat pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga perguruan tinggi. Untuk sekolah, pendidikan anti korupsi akan disisipkan pada sejumlah mata pelajaran seperti pendidikan kewarganegaraan.
“Untuk perguruan tinggi, akan dimasukkan sebagai mata kuliah pilihan atau wajib. Bentuk pendidikannya sepenuhnya kami serahkan pada masing-masing lembaga pendidikan,” kata Laode.
Kenali wakil rakyat
Masyarakat diharapkan lebih jeli dalam menentukan pilihan wakilnya dalam Pemilu mendatang. Pemeriksaan rekam jejak calon legislatif dan pemimpin negara oleh pemilih perlu dilakukan agar tidak memilih wakil rakyat yang pernah tersangkut kasus korupsi.
Hasil jajak pendapat Litbang Kompas 14-15 November lalu mencatat, jumlah calon pemilih yang tidak mengetahui nama calon legislatif baik DPR, DPRD, maupun DPD masih cukup tinggi. Semakin tinggi level pemilihan, jumlah yang tidak tahu juga semakin banyak.
Pada tingkat DPRD kabupaten/kota, sebanyak 50,6 persen calon pemilih yang tidak tahu nama caleg yang akan berkontestasi. Di tingkat provinsi, jumlah ini meningkat menjadi 55,7 persen dan untuk DPR menjadi 63 persen. Demikian pula untuk calon anggota DPD, jumlah yang tidak tahu mencapai 64,1 persen.(Kompas, 19/11/2018).
Staf Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafirna mengatakan calon pemilih wajib mengetahui siapa saja calon yang akan bertarung dalam Pemilu mendatang. Selain mengenal, mereka juga perlu mengetahui riwayat hidup dan rekam jejak calon wakil rakyat yang akan memperjuangkan kepentingan mereka.
Masyarakat perlu mengecek rekam jejak anggota calon legislatif ataupun presiden dan wakil presiden karena masih ada segelintir calon yang menurut ICW memiliki rapor merah dalam sejumlah kasus. Contohnya adalah adanya caleg yang terkena kasus korupsi dan masih ikut serta dalam pemilihan mendatang.
"Calon pemilih harus mengetahui hal-hal seperti ini. Pilihan mereka akan berpengaruh dalam pembangunan negara lima tahun kedepan," kata nya saat ditemui di Jakarta, Minggu (9/12/2018) pagi.
Peneliti ICW Tibiko Zabar mengatakan, calon pemilih hendaknya menentukan pilihan berdasarkan rekam jejak yang bersih dari berbagai kasus. Sementara, untuk calon petahana, selain riwayatnya yang baik, program kerjanya juga terbukti sudah berjalan dan dirasakan manfaatnya.
Tibiko menambahkan, masyarakat dipermudah dengan kemajuan teknologi untuk melacak jejak calon di wilayah mereka. Dengan memasukkan nama caleg pada mesin pencari daring, calon pemilih dapat dengan mudah mendapat informasi tentang seorang caleg dari pemberitaan media, foto-foto, dan media sosial mereka.
"Selain itu, ada juga platform-platform yang menyediakan riwayat hidup calon wakil rakyat seperti yang dilakukan KPU," tambah Almas.
Audit Dana Kampanye
Sementara itu, Anggota Ombudsman RI Alvin Lie menekankan pentingnya sistem audit yang jelas dalam pengawasan dana kampanye calon legislatif atau kandidat presiden dan wakil presiden. Alvin menilai selama ini pengawasan badan terkait untuk dana kampanye masih lemah.
“Data-data yang diberikan oleh caleg terkait dana kampanye juga patut diragukan akurasinya. Karena bisa saja mereka menerima dana dari sebuah sponsor yang mengharapkan timbal balik saat ia terpilih,” kata Alvin.
Menurutnya, negara perlu melibatkan pihak luar seperti akuntan publik untuk membantu KPU serta lembaga lain dalam mengawasi pemasukan dan pengeluaran dana kampanye. Audit yang mereka lakukan juga dapat menelurkan standar terkait biaya sebuah program kampanye seperti kunjungan ke sebuah daerah, pemasangan baliho, pembuatan stiker, dan lain lain.(LORENZO ANUGRAH MAHARDHIKA)