JAKARTA, KOMPAS — Maraknya penangkapan hakim dalam kasus korupsi merupakan ujung persoalan dari belum optimalnya respons Mahkamah Agung terhadap upaya peningkatan profesionalisme hakim. Respons yang minim itu antara lain tergambar dalam rendahnya upaya tindak lanjut MA terhadap rekomendasi Komisi Yudisial yang menyangkut aspek-aspek profesionalisme hakim.
Dalam perspektif berbeda, MA memandang persoalan terkait unsur profesionalisme hakim itu merupakan bagian dari teknis yudisial sehingga KY tidak bisa melakukan penilaian. Kendati demikian, sejumlah kasus menunjukkan aspek-aspek profesionalisme hakim, antara lain dalam pembuatan putusan, mengandung celah atau potensi korupsi.
Ketua Komisi Yudisial Jaja Ahmad Jayus mengatakan, hal itu seperti terjadi dalam kasus penangkapan hakim PN Jakarta Selatan baru-baru ini (Iswahyudi Widodo dan Irwan), yakni terkait pembuatan putusan. Pembuatan putusan termasuk dalam aspek profesionalisme hakim, dan MA menganggap prosesnya merupakan bagian dari teknis yudisial yang tidak bisa dimasuki KY. Namun, dalam kondisi semacam itu, aspek-aspek profesionalisme itu ternyata mengandung potensi korupsi karena kerap suap diberikan untuk memengaruhi putusan.
”Dari berbagai kejadian, kalau profesionalisme tidak disorot, ada potensi suap. Kalau suap, pasti itu unprofessional conduct. Misalnya, putusan itu dikabulkan, padahal semestinya tidak, itu kan problem profesionalisme hakim, yang prosesnya masuk ke dalam teknis yudisial atau independensi hakim. Tetapi, di balik teknis yudisial itu ada unprofessional conduct yang harus disoroti,” kata Jaja, Sabtu (8/12/2018) di Jakarta.
Hingga 31 Oktober 2018, KY telah merekomendasikan penjatuhan sanksi hakim atas 62 laporan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim (KEPPH) yang terbukti menurut pemeriksaan KY. Namun, dari jumlah itu, hanya enam laporan yang ditindaklanjuti MA dengan penjatuhan sanksi, dan dua laporan lain diajukan untuk diperiksa Majelis Kehormatan Hakim (MKH). Total ada delapan laporan pelanggaran hakim yang ditindaklanjuti MA, dari 62 laporan yang direkomendasikan.
Jaja mengatakan, sebagian besar rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti MA itu dinilai sebagai bagian dari teknis yudisial atau aspek profesionalisme hakim. Adapun dari kacamata KY, aspek itu termasuk dalam bidang pengawasan KY karena terkandung di dalamnya unsur perilaku arif bijaksana sebagai salah satu bagian dari sikap dan perilaku hakim yang diatur di dalam KEPPH.
”Enam laporan yang ditindaklanjuti MA, termasuk dua yang diajukan ke MKH adalah perilaku murni, seperti selingkuh. Adapun untuk laporan lain yang dijawab ataupun tidak dijawab MA adalah teknis yudisial atau profesionalisme hakim,” katanya.
Dua persoalan
Direktur Pusat Kajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember Bayu Dwi Anggono mengatakan, persoalan peradilan itu merupakan salah satu tema yang dibahas di dalam konferensi hukum nasional di Unej, 6 Desember 2018. Para peserta yang terdiri dari akademisi, praktisi hukum, dan pemerhati persoalan hukum menyepakati dua persoalan penting dalam dunia peradilan di Tanah Air. Dua hal itu adalah persoalan keselarasan putusan dan penerapan kode etik hakim.
Dalam pelaksanaan kode etik hakim, misalnya, konferensi menyoroti rendahnya tindak lanjut MA terhadap rekomendasi yang diberikan KY terkait dengan pelanggaran hakim. ”KY tidak boleh bicara putusan karena itu merupakan bagian dari teknis yudisial. Namun, apabila ditelalah lebih jauh, rekomendasi-rekomendasi yang tidak ditindaklanjuti MA itu pun sebenarnya tidak semuanya termasuk ke dalam teknis yudisial karena ada yang di luar itu,” kata Bayu.
Minimnya respons atas rekomendasi KY, lanjut Bayu, memberikan kesan seolah-olah ada pemberian imunitas oleh MA terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh hakim. ”Hakim yang melakukan pelanggaran ringan, sedang, hingga berat bisa saja merasa dirinya dibiarkan atau dilindungi korps mereka. Oleh karena itu, mereka merasa aman, dan apabila ada yang tertangkap, maka dianggap sial saja,” ujar Bayu.
Kedua, soal keselarasan putusan juga dinilai buruk karena belum ada kesatuan dalam memandang hukum. Bayu mencontohkan tidak adanya kesepahaman dalam memutuskan perkara terkait dengan syarat pencalonan anggota DPD antara MA, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Abdullah di sela-sela konferensi pers, Jumat lalu di Gedung MA, Jakarta, mengatakan, MA turut serta dalam pembentukan KY sebagai lembaga pengawas eksternal. MA menyadari pentingnya pengawasan eksternal oleh KY, dan selama ini kedua lembaga pun selalu bekerja sama menjaga marwah dan kehormatan hakim. Kode etik yang mengikat para hakim selama ini pun dituangkan di dalam peraturan bersama antara KY dan MA. MA menindaklanjuti rekomendasi KY sepanjang tidak menyangkut teknis yudisial
”Kalau ada hakim melanggar kode etik, itu artinya melanggar peraturan yang telah disepakati di dalam peraturan bersama antara KY dan MA. Jadi, kalau ada laporan mengenai pelanggaran hakim, pasti diperhatikan MA,” katanya.