Politik Uang Membayangi Pemilu 2019
Pemilihan umum 2019 yang akan dilakukan secara serentak antara pemilihan legislatif dan pemilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden, akan menjadi ujian bagi kualitas demokrasi di Indonesia. Salah satu yang pasti menguji proses politik di pemilu tersebut adalah praktik politik uang atau jual beli suara. Jika praktik ini cenderung marak terjadi di tengah keserentakan pemilu, kepercayaan pada hasil pemilu menjadi terganggu.
Terganggunya kepercayaan ini tertangkap dari hasil jajak pendapat Kompas. Separuh lebih responden (61,9 persen) menyatakan tidak percaya pada hasil pemilu jika politik uang marak terjadi dalam proses kompetisi politik lima tahunan tersebut. Sikap ini sebenarnya wujud kekhawatiran publik bahwa politik uang akan mencoreng pemilu, meskipun sebenarnya praktik ini juga dipandang sebagai sesuatu yang umum terjadi dan biasa didengar oleh sebagain besar responden.
Penyikapan ini semakin mempertegas bahwa politik uang tak ubahnya sebagai aktifitas yang melekat dalam setiap kompetisi politik seperti halnya pemilu. Bagi-bagi uang atau barang menjadi hal lumrah didengar, bahkan dijumpai di lapangan ketika proses pemilihan berjalan. Lalu muncul pertanyaan, sebenarnya masyarakat itu menolak atau menganggap politik uang sebagai hal biasa. Pertanyaan ini muncul karena memang praktik ini sudah menjadi kebiasaan. Hal lainnya lagi ada kecenderungan masyarakat kita sudah semakin cuek, acuh, dan tidak peduli dengan perilaku korup ini.
Setidaknya hal ini bisa kita lihat dari data Badan Pusat Statistik terkait bagaimana sikap masyarakat kita melihat praktik yang masuk dalam kategori korupsi ini. Dari data pergerakan Indeks Perilaku Anti Korupsi (IPAK) di Indonesia, tampak angkanya sedikit mengalami penurunan.
Di Tahun 2018 ini angka indeks perilaku antikorupsi berada di skor 3,66, menurun sedikit dibandingkan kondisi 2017 yang mencapai 3,71. Secara umum angka IPAK ini menunjukkan rentang 0-5. Semakin mengarah ke angka 5 memiliki arti semakin anti terhadap korupsi. Sebaliknya, jika semakin mendekati angka 0 bermakna semakin permisif terhadap korupsi.
Dari angka di atas jelas sekali ada kecenderungan sikap permisif yang menguat dalam masyarakat kita terhadap praktik korupsi. Semakin banyaknya kasus elite terjerat kasus korupsi, termasuk diantaranya kepala daerah di sejumlah wilayah. Salah satunya terjadi di Jawa Timur dan Jawa Barat. Kepala daerah dan mantan kepala daerah di Malang Raya, yakni kepala daerah di Kabupaten Malang, Kota Malang, Kota Batu, dan Kabupaten Bekasi, semuanya masuk dalam jeratan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tercatat sepanjang 2018 sudah ada lebih 18 kepala daerah yang terjaring Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh KPK.
Kasus ini menambah daftar panjang kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Boleh jadi faktor ini turut membangun dan memengaruhi persepsi publik tentang korupsi sebagai hal yang biasa. Apalagi dalam sejumlah pemberitaan disebutkan, sejumlah tersangka kasus korupsi tetap percaya diri tampil di muka publik dalam pemberitaan media. Hal ini semakin memperkuat bahwa nilai pelanggaran terhadap perampokan uang negara dan rakyat terasa hilang karena korupsi sudah biasa.
Permisif
Selain dilihat dari menurunnya angka IPAK tahun 2018, potret permisifnya masyarakat juga terlihat dari perbedaan penilaian antara persepsi terhadap korupsi dan pengalaman ketika menghadapi kasus korupsi. Di tingkat persepsi, angka indeksnya lebih tinggi dibandingkan angka indeks dalam dimensi pengalaman. Hal ini memperkuat sinyalemen selama ini bahwa korupsi menjadi sesuatu yang dibenci dan dihindari secara normatif, namun terkadang praktik ini juga susah dihindari dan mau tidak mau kita “terpaksa” menerima sebagai sesuatu yang biasa terjadi. Korupsi dibenci namun juga sekaligus dirindukan, terutama bagi orang-orang yang ingin mengambil kesempatan memanfaatkan fasilitas dan uang negara secara illegal.
Dari tren pergerakan angka IPAK Indonesia dari tahun 2013-2018, angka indeks tahun 2017 sebesar 3,71 pada skala 0 sampai 5. Angka ini lebih tinggi dibandingkan capaian tahun 2015 sebesar 3,59 dan merosot di 2018 menjadi 3,66.
IPAK sendiri disusun berdasarkan dua dimensi yakni persepsi dan pengalaman. Pada 2017, baik indeks persepsi maupun indeks pengalaman meningkat. IPAK masyarakat perkotaan lebih tinggi (3,86) dibanding masyarakat perdesaan (3,53).
Sementara itu, berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan semakin tinggi pendidikan, semakin anti korupsi. IPAK penduduk berpendidikan SLTP ke bawah sebesar 3,58; SLTA sebesar 3,99; dan di atas SLTA sebesar 4,09. Hal ini menguatkan pentingnya pendidikan antikorupsi untuk meningkatkan kembali indeks perilaku anti korupsi.
Kecenderungan sikap cuek terhadap fenomena politik uang dan beli suara ini bukanlah sesuatu yang asing dan mencengangkan. Praktik ini sudah menjadi informasi umum bagi publik di setiap ajang kompetisi politik berlangsung. Praktik politik yang mengedepankan pemberian uang atau barang diyakini akan merusak demokrasi itu sendiri.
Politik uang sendiri sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam ajang kompetisi politik. Masyarakat kita secara normatif memang menolak upaya elite, kandidat, atau partai politik ketika akan memberikan uang atau barang untuk memengaruhi pilihan politiknya.
Namun menariknya ada kelompok responden dalam survei juga mengaku mereka akan tetap menerima pemberian uang atau barang tersebut tanpa harus memenuhi permintaan si pemberi untuk memberikan hak suaranya kepada si pemberi uang atau barang tersebut. Kelompok responden ini berkisar di angka 19,9 persen. Sebaliknya, tetap ada sekelompok responden yang menerima pemberian tersebut dan mengalihkan dukungan suaranya ke si pemberi.
Budaya
Sikap permisif masyarakat terhadap politik uang juga bisa dilihat dari pandangan publik terhadap praktik korupsi sebagai budaya. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas mencatat politik uang tak ubahnya praktik korupsi yang sudah membudaya. Penilaian ini disampaikan oleh separuh lebih responden (59,9 persen) yang melihat korupsi adalah bagian budaya Indonesia yang turun temurun, susah dihilangkan, seperti halnya catatan sejarah di era sejarah pergerakan dimana benih-benih praktik korupsi mulai tumbuh dan berkembang.
Selain sudah membudaya dan menjadi bagian yang melekat dalam masyarakat, politik uang atau jual beli suara juga sulit diberantas dan dihilangkan. Bagaimanapun yang namanya budaya dan menjadi bagian kebiasaan dari masyarakat sulit diubah atau dihilangkan.
Selain itu, menurut publik, susahnya memberantas praktik politik uang karena hampir semua kalangan terlibat dalam proses politik uang ini. Tidak heran jika kemudian tidak hanya peserta, baik kandidat legislatif maupun kandidat eksekutif dan pemilih, penyelenggara pun terkadang tidak lepas dari godaan politik uang
Lihat saja data dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang menyebut sepanjang 2017 terdapat 360 putusan yang menjerat jajaran KPU. Sebanyak 72,2 persen diantaranya bersumber dari KPU Kabupaten/Kota. Tercatat ada 22 orang dari jajaran KPUD diberhentikan secara tetap.
Sementara itu, DKPP di periode yang sama juga memutuskan 133 putusan untuk jajaran Bawaslu. Senada dengan KPU, dari total putusan tersebut, sebagian besar (69,9 persen) berasal dari Panwas Kabupaten/Kota. Sebanyak 7 orang jajaran Panwas di daerah diberhentikan secara tetap.
Data di atas menunjukkan bahwa problem pelanggaran kerap tidak lepas dari praktik politik uang, suap, dan jual beli suara antara kontestan dan pemilih. Jika ini terjadi dan akumulatif, tentu akan membayangi upaya kita melahirkan pemilu yang berkualitas.
Ancaman politik uang dan jual beli suara di tengah kecenderungan masyarakat yang permisif, mau tidak mau memang harus diakui akan menjadi sinyal peringatan pada penyelenggara khususnya dan publik pada umumnya bahwa pengawasan pemilu harus menjadi tanggungjawab bersama.