Soal Pencalonan Mantan Napi, MK Merujuk Putusan Sebelumnya
Oleh
Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mahkamah Konstitusi merujuk pada putusan sebelumnya yang membolehkan mantan narapidana boleh mengisi jabatan publik atau elected officials sepanjang ia secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana. Sikap MK itu ditegaskan kembali saat memutus uji materi Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, Rabu (12/12/2018) di Jakarta.
Dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Anwar Usman, MK menguraikan kembali permohonan yang diajukan oleh Muhammad Hafidz, Abda Khair Mufti, dan Sutiah. Mereka mempersoalkan konstitusionalitas Pasal 182 Huruf g dan Pasal 240 Ayat (1) Huruf g UU Pemilu, yang membolehkan seseorang mengisi jabatan publik, sepanjang “tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.”
Pemohon keberatan dengan susbtansi pasal itu karena dengan demikian memberikan kesempatan kepada mantan napi kasus korupsi untuk menjadi pejabat publik. Pemberian kesempatan bagi mantan napi korupsi untuk menjadi pejabat publik itu membuka kesempatan bagi mereka untuk mengulangi perbuatannya, sebab sebelumnya mereka pernah diberi kepercayaan tetapi mengkhianati kepercayaan itu.
Di sisi lain, MK sudah beberapa kali memutus persyaratan mantan napi menjadi pejabat publik itu, antara lain melalui putusan Nomor 14-17/PUU-V/2007 bertanggal 11 Desember 2007, Nomor 4/PUU-VII/2009 bertanggal 24 Maret 2009, Nomor 120/PUU-VII/2009 bertanggal 20 April 2010, Nomor 79/PUU-X/2012 bertanggal 16 Mei 2013, maupun Nomor 42/PUU-XIII/2015 bertanggal 9 Juli 2015. Namun, pemohon menilai permohonan mereka tidak bisa gugur dengan alasan nebis in idem (perkara yang sudah pernah diputuskan), karena MK belum secara eksplisit atau implisit menyebut mantan napi korupsi.
Pemohon meminta MK untuk menyatakan frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” pada Pasal 182 Huruf g dan Pasal 240 Ayat (1) Huruf g UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat jika dimaknai mencakup mantan terpidana korupsi.
Hakim konstitusi I Dewa Gede Palguna dalam pertimbangannya mengatakan, permintaan pemohon mengandung logika yang bertolak belakang, karena berarti hanya mantan terpidana korupsi yang dipandang tidak layak menduduki jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan (elected officials), meskipun yang bersangkutan telah menyatakan secara jujur dan terbuka bahwa dirinya mantan terpidana korupsi.
“Namun demikian, dengan hanya memasukkan mantan terpidana tindak pidana korupsi sebagai pengecualian dari frasa “kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana” dalam Pasal 182 Huruf g dan Pasal 240 Ayat (1) Huruf g UU Pemilu sebagaimana didalilkan para pemohon, sama artinya para pemohon menganggap mantan pelaku kejahatan lain boleh menduduki jabatan publik yang pengisiannya dilakukan melalui pemilihan meskipun pengaruh atau efek merusak dari kejahatan lain itu setara dengan atau bahkan melebihi tindak pidana korupsi,” kata Palguna.
Padahal, dengan mendalami argumentasi pemohon secara cermat, menurut MK, semangat permohonan mereka pada dasarnya ialah hendak meniadakan peluang dari semua mantan terpidana pelaku kejahatan yang menyebabkan pemerintah terhalang atau terganggu dalam melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahannya untuk menyejahterakan rakyat, lebih-lebih rakyat miskin.
Kendati demikian, MK sepakat dengan argumentasi pemohon mengenai korupsi sebagai kejahatan serius yang bila dibiarkan mengakar kuat dan dalam skala besar bisa bermetamorfosis menjadi kejahatan luar biasa. Bahkan, MK sepakat korupsi merupakan musuh bersama umat manusia.
Hanya saja, dengan hanya menekankan mantan napi korupsi untuk dikecualikan dalam pemilihan pejabat publik, menurut mahkamah, permohonan pemohon itu tidak beralasan menurut hukum. Mengenai dua norma yang diuji konstitusionalitasnya oleh para pemohon, menurut MK, adalah bentuk tindak lanjut dari putusan mereka sebelumnya, yakni Putusan Nomor 42/PUU-XIII/2015.