JAKARTA, KOMPAS – Tidak ada resep tunggal dalam penyelesaian persoalan korupsi di Tanah Air. Korupsi hanya bisa diselesaikan secara simultan dengan berbagai pendekatan yang tidak tunggal, karena banyak akar yang memicu korupsi, tidak hanya diperlukan pembenahan dari sektor politik, tetapi juga dibutuhkan keseriusan dukungan dari pemerintah dan parlemen dalam membuat sebuah sistem tata kelola pemerintahan yang bebas korupsi.
Pengajar Fakultas Hukum dan peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) Zainal Arifin Mochtar yang dihubungi dari Jakarta, Selasa (11/12/2018) mengatakan, korupsi tidak hanya berkaitan dengan persoalan sistem politik yang korup, atau minimnya transparansi di berbagai aspek tata kelola pemerintahan. Banyak faktor yang membuat sejumlah upaya yang dibangun untuk mewujudkan transparansi ternyata masih gagal untuk mencegah korupsi.
“E-budgetting, e-procurement, dan pendekatan lain untuk mewujudkan transparansi itu merupakan salah satu solusi, tetapi itu bukan satu-satunya jalan keluar untuk memutus rantai korupsi. Untuk mengubah transparansi menjadi sebuah program memerlukan sistem, dan sistem itu yang selama ini tidak dikerjakan dengan baik,” katanya.
Sebagai contohnya, e-budgetting, untuk memperbaiki penganggaran di daerah, selama ini belum sepenuhnya dilakukan oleh daerah-daerah, karena ada yang sudah melakukan, dan ada yang belum melaksanakannya. Belum ada kewajiban mengirim e-budgetting kepada setiap daerah.
Contoh lainnya ialah korupsi yang melibatkan para kepala daerah dan anggota parlemen di tingkat daerah maupun pusat. Korupsi akan terus terjadi sepanjang kontestasi politik itu berbiaya mahal.
“Artinya perbaikannya dalam sistem kepemiluan dan kepartaian kita. Jadi bukan resep tunggal, misalnya, dengan hanya membuka penganggaran parpol, maka akan selesai korupsi di parpol. Belum tentu juga, sebab ada persoalan lain yang juga harus disentuh, misalnya soal demokratisasi di tubuh parpol, itu juga harus didorong untuk hindari korupsi,” kata Zainal.
Kecenderungannya saaat ini, menurut Zainal, pemerintah kerap memaksakan resep tunggal untuk memecahkan persoalan korupsi. Padahal ada banyak mekanisme atau pendekatan yang bisa dilakukan untuk menangani korupsi. Untuk kepala daerah yang terus korupsi, wacana atau resep yang berkembang ialah dengan cara menaikkan gaji kepala daerah, meskipun tidak ada jaminan korupsi akan berhenti kalau gaji dinaikkan.
“Pungutan liar, misalnya, tidak selesai hanya dengan membuat saber pungli, sementara persoalan pungli tidak cukup diatasi dengan pembentukan satuan itu. Perlu dibuat konsep lain untuk mengatasi pungli. Suap dalam tilang, misalnya, kenapa terjadi, karena orang malas membayar tilang yang mahal dan cara membayarnya susah. Kalau mau mengatasi suap tilang, ya mudahkan cara membayar tilang, dan turunkan nilai tilangnya, sehingga orang tidak memilih untuk menyogok,” ujarnya.
Penyelesaian korupsi pun memerlukan konsistensi, sebaab korupsi tidak bisa selesai hanya dengan program-program temporer. Belajar dari negara lain, seperti Hongkong, yang memberantas korupsi sejak tahun 1974 sampai 2000-an, atau membutuhkan waktu 30 tahunan.
“Pemihakan negara diperlukan, bukan hanya dari presiden, tetapi juga DPR, dan lembaga-lembaga negara lainnya. Jangan sampai koruptor ditangkapi, lalu disidangkan oleh hakim yang ternyata sistemnya juga korup, tentu menjadi persoalan tersendiri. Komitmen pemberantasan korupsi mesti menjadi kewajiban dari setiap lembaga negara,” kata Zainal.