JAKARTA, KOMPAS — Meskipun sistem pemungutan dan perhitungan suara Pemilu 2019 masih menggunakan sistem manual, hal itu tidak mengurangi potensi gangguan keamanan siber yang dapat mengganggu penyelengaraan pesta demokrasi itu. Potensi gangguan siber itu meliputi peretasan (hack), pembocoran (leak), dan penyebaran informasi (amplify).
Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Djoko Setiadi mengatakan, kemajuan dan penggunaan teknologi yang semakin masif berkaitan erat dengan peningkatan ancaman siber. Bahkan, lanjut Djoko, perkembangan kejahatan siber juga mengalami peningkatan, dari taktik, teknik, prosedur penyebaran, hingga target.
Selama 2018, Djoko memastikan, pihaknya telah melakukan pengawasan dan antisipasi serangan siber selama agenda besar nasional, seperti pilkada, Asian Games, Asian Para Games, dan Rapat Tahunan IMF-Bank Dunia. Sementara itu, pada 2019 pemilu legislatif dan pemilihan presiden menjadi target bagi serangan siber.
”Kami tidak terpengaruh dengan sistem manual yang masih digunakan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kami menilai ancaman siber tetap berpotensi sehingga kami akan bantu KPU untuk melakukan pengawasan terhadap potensi serangan di infrastruktur digital,” ujar Djoko dalam Seminar Diseminasi Deteksi Ancaman Siber di Jakarta, Rabu (12/12/2018).
Lebih lanjut, Djoko memastikan, pihaknya telah berkoordinasi dengan KPU yang telah dimulai pada Pilkada 2017. Koordinasi itu, lanjutnya, bertujuan untuk mengantisipasi serangan dan melakukan gerak cepat apabila sistem KPU mengalami serangan siber.
Selain pengawasan terhadap sistem milik KPU, BSSN juga melakukan koordinasi dengan Badan Reserse Kriminal Polri. Langkah bersama BSSN dan Bareskrim bertujuan untuk memperkecil penyebaran kampanye hitam selama tahapan Pemilu 2019.
”Kolaborasi seluruh pemangku kepentingan diperlukan untuk mitigasi, mendeteksi, dan mencegah terjadinya serangan siber,” kata Djoko.
Dalam kesempatan itu, Deputi Bidang Koordinasi Komunikasi, Informasi, dan Aparatur Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Marsekal Muda Rus Nurhadi Sutedjo menjelaskan, terdapat empat aplikasi milik KPU yang harus diamankan selama perhelatan Pemilu 2019. Keempat aplikasi itu ialah sisten informasi perhitungan (situng), sistem informasi data pemilih (sidalih), sistem informasi logistik (silog), dan sistem informasi partai politik (sipol).
Selain itu, Nurhadi menyatakan, seluruh pemangku kepentingan juga harus menjaga transaksi pengiriman data pribadi milik Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri. Tak hanya itu, lanjutnya, seluruh pihak juga perlu memastikan pesta demokrasi itu berjalan kondusif melalui kampanye bernilai positif.
”Seiring pengamanan data dan aplikasi itu diperlukan peran seluruh pemangku kepentingan untuk mengamankan infrastruktur teknologi informasi dan menjaga kondusivitas konten siber yang bernuansa provokasi, agitasi, dan propaganda,” ujar Nurhadi.
Ancaman utama
Khusus untuk Pemilu 2019, Direktur Deteksi Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Sulistyo mengungkapkan, terdapat tiga potensi ancaman, yaitu peretasan, pembocoran, dan penyebaran informasi. Peretasan atau hacking adalah peretasan infratruktur, terutama sistem perhitungan suara. Kemudian, pembocoran atau leaking merupakan pembocoran informasi dari penyelenggara negara atau pesaing kontestasi Pemilu. Terakhir, penyebaran atau amplifying ialah penyebaran informasi yang bernuansa kampanye hitam untuk menjatuhkan pesaing politik.
”Selain itu, ada pula potensi gangguan yang menggunakan IP proxy dari luar negeri. Ancaman itu berupaya kami antisipasi,” kata Sulistyo.
Pada periode Januari-Oktober 2018, BSSN mencatat terjadi 207,9 serangan siber dengan serangan terbesar berupa Trojan. Kemudian, BSSN juga menerima 2.363 laporan publik terkait serangan siber serta sekitar 36 juta aktivitas Malware.