Kemerdekaan pers ada dalam rangka agar wartawan bisa menjalankan pekerjaannya untuk memenuhi hak atas informasi (rights to information) dan hak untuk tahu (rights to know) dari masyarakat, yang notabene adalah menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya (obligation to fulfil).” Itulah pesan Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dalam pengantar Jurnal Dewan Pers edisi 17 Juli 2018.
Hal ini sejalan dengan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang menyatakan, ”pers berperan menegakkan nilai-nilai demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum dan hak asasi manusia, serta menghormati kebinekaan, selain melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum”. Untuk bisa melaksanakan peran itu, dibutuhkan kompetensi dari wartawan sehingga bisa memberikan informasi yang akurat, tak memihak, bertanggung jawab, dan berguna bagi masyarakat.
Namun, kemerdekaan pers di Indonesia kini masih terancam. Memasuki tahun politik, tahun 2019, ancaman terhadap kemerdekaan pers untuk menyuarakan ”bening” aspirasi rakyat, dan menjalankan fungsi kontrol terhadap kekuasaan, pertama-tama akan berhadapan dengan politisasi pers. Fenomena paling kuat adalah ketidak-mandirian institusi pers dari kepentingan politik. Sejumlah pemilik media terlibat politik praktis, sebagai pimpinan partai politik atau pendukung calon presiden/wakil presiden.
Belajar dari pengalaman Pemilu 2014, yang kondisinya mirip 2019, serta pelaksanaan pemilu kepala daerah (pilkada), terbukti tak ada korelasi yang kuat antara media massa dan pilihan politik (praktis). Partai yang dipimpin oleh pemilik media atau pimpinan media tak memperoleh suara yang optimal dalam Pemilu 2014.
Namun, upaya menarik media massa ke ranah politik praktis, kontestasi pemilu legislatif dan pemilu presiden, sejak beberapa bulan terakhir sudah sangat keras. Dan, tarikan itu diyakini akan semakin kencang mulai awal tahun 2019, menjelang 19 April 2019, saat pemungutan suara. Pemilik atau pimpinan media massa bisa memakai kuasanya dalam memengaruhi kebijakan redaksional sehingga bisa memengaruhi masyarakat. Di sisi lain, mereka yang bergerak dalam bidang politik praktis, tetapi tak mempunyai akses langsung pada media massa bisa menggunakan kekuatan sosial untuk memengaruhi lembaga pers di negeri ini.
Mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan pun pernah mengingatkan, ada empat ancaman terhadap kemerdekaan pers. Dua di antaranya terkait politik, yaitu politisasi pers dan penggunaan kekuatan massa untuk menekan media massa. Kemerdekaan pers terancam oleh perilaku sebagian warga yang acap kali memaksakan kehendak, terkait kepentingan politik atau lainnya, termasuk dengan melakukan kekerasan kepada perusahaan pers atau pekerja pers. Tahun 2019, saat bangsa ini menuju pesta demokrasi, apalagi dilaksanakan serentak, tekanan massa terhadap media massa bisa terjadi kapan saja. Hal ini sebenarnya tak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di sejumlah negara lain.
Ancaman terhadap kemerdekaan pers, khususnya di Indonesia, memang tidak merata. Dewan Pers sejak tiga tahun terakhir meluncurkan indeks kemerdekaan pers. Tahun 2018, dari 34 provinsi di negeri ini, tiada yang dinilai kurang menghargai kemerdekaan pers. Hal ini berbeda dengan laporan dari lembaga internasional, seperti Reporters Without Borders (Sans Frontieres), yang menempatkan negara ini tahun 2018 di peringkat ke-124 dari 180 negara dalam indeks kemerdekaan pers yang disusunnya. Posisi Indonesia, dengan nilai 39,68, di bawah Timor Leste (peringkat ke-95), Papua Niugini (53), dan Afghanistan (118).
Kita bisa saja mempertanyakan tata cara penyusunan indeks kemerdekaan pers dari lembaga asing. Namun, lembaga lain, Freedom House, tahun 2017 menempatkan Indonesia sebagai negara yang kemerdekaan persnya baru sebagian, partly free, dengan nilai 49. Indonesia lebih baik dibandingkan dengan Afghanistan dengan skor 60, yang juga belum bebas persnya.
Kemerdekaan pers di negeri ini terancam oleh ekonomi pula. Pers di Indonesia masih tergantung modal, khususnya iklan. Pada 2018, perolehan iklan media konvensional, seperti media cetak, radio, dan televisi, seperti tahun sebelumnya, tergerus digital. Namun, tahun politik diperkirakan memberi berkah iklan pada media konvensional. PT The Nielsen Company Indonesia memperkirakan, belanja iklan politik akan naik.
Pada Pemilu 2014, belanja iklan politik diperkirakan mencapai Rp 1,96 triliun. Hingga Juni 2018, menurut data Nielsen, belanja iklan politik di media mencapai Rp 608 miliar. Tahun 2019, akan ada kenaikan belanja iklan politik, yang bisa memberikan napas segar untuk kehidupan media massa. (tri agung kristanto)