JAKARTA, KOMPAS – Selama dua bulan masa kampanye Pemilu 2019 berlangsung, pembahasan isu-isu strategis di ruang publik masih sangat minim. Narasi kampanye justru didominasi oleh wacana politik identitas serta hal-hal yang tak substantif. Karena itu, perlu ada upaya bersama untuk mengarahkan diskursus ke isu-isu penting yang menyangkut masyarakat.
Isu strategis yang penting untuk dibahas meluas di ruang publik oleh para peserta pemilu itu antara lain terkait dengan masalah korupsi yang terus terjadi, politik luar negeri, relasi pusat dan daerah, serta lingkungan hidup. Isu-isu ini dianggap masih sepi dari topik kampanye pasangan calon presiden dan wakil presiden.
“Asumsinya pemilu, proses memilih pemimpin itu harus didasarkan pada kemampuan seorang calon menawarkan program saat menjabat,” kata pengajar FISIP Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Ali Munhanif dalam diskusi “Evaluasi Politik Tahun 2018 dan Proyeksi Politik Tahun 2019” di Jakarta, Kamis (13/12/2018).
Diskusi yang diselenggarakan Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI) dan Populi Center itu juga menghadirkan pembicara lain, yakni Syamsuddin Haris, peneliti politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, serta peneliti Populi Center Arfimadona. Diskusi dipandu pengajar FISIP Universitas Sam Ratulangi Manado Ferry Daud Liando.
Ali Munhanif menuturkan, model kampanye yang minim pembahasan mendalam isu strategis itu bisa diubah melalui dua jalur. Pertama, dari kelompok di luar peserta pemilu. Hal ini bisa dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum, kelompok masyarakat sipil, serta para pakar untuk mendorong peserta pemilu bertarung dengan cara memproduksi dan mereproduksi isu yang produktif untuk pembangunan dan pemerintahan. Kedua, para peserta pemilu bisa mendorong juru bicara, tim komunikasi, serta juru kampanye di semua tingkatan untuk memproduksi isu-isu sehat berkaitan dengan esensi pemilu untuk mencari pemerintahan yang kredibel.
“Menyebarkan isu hoaks, kebencian, dan eksploitasi primordial ujung-ujungnya melahirkan proses politik yang tidak kredibel untuk demokrasi,” katanya.
Menyebarkan isu hoaks, kebencian, dan eksploitasi primordial ujung-ujungnya melahirkan proses politik yang tidak kredibel untuk demokrasi
Syamsuddin Haris juga menilai kualitas kampanye saat ini masih sangat mengecewakan, hanya berputar pada hal-hal yang tidak penting. Dengan begitu, masa kampanye yang sudah berlangsung sekitar dua bulan terakhir ini menjadi terbuang sia-sia. Menurut dia, isi kampanye masih terbatas pada saling berbalas komentar yang menjatuhkan dan memojokkan, sehingga tidak mendidik bagi masyarakat.
Sementara itu, Titi Anggraini juga mengingatkan KPU untuk berperan aktif dalam membebaskan pemilih dari kebohongan dan informasi menyesatkan. Terutama pada titik rawan menjelang masa tenang. Menurut Titi, informasi bohong bukan hanya menyasar peserta tetapi juga penyelenggara. Sayangnya, dia menilai ada kecenderungan penyelenggara pemilu belum punya respons cepat menghadapi informasi bohong terkait kepemiluan.
Penyelenggaraan Pemilu 2019 akan sangat kompleks dan bisa juga mempengaruhi kualitas pilihan warga. Arfimadona menuturkan, Undang-Undang Pemilu memiliki tiga hal utama yang menarik, yakni pemilu yang dilakukan serentak antara legislatif dan pemilihan presiden, peningkatan ambang batas parlemen, serta ambang batas pemilihan presiden.
“Ongkos memilih meningkat karena kompleksitas pemilihan, dan ditambah dengan ketidakjelasan posisi kebijakan masing-masing partai. Pemilih jadi bingung dia akan memilih apa,” katanya.