Pemerintah-DPR Sama-sama Tidak Serius
JAKARTA,KOMPAS – Masa persidangan DPR di Tahun 2018 berakhir dengan hanya lima dari total 50 rancangan undang-undang di Program Legislasi Nasional Prioritas 2018, yang berhasil disahkan. DPR dan pemerintah sama-sama berkontribusi atas berlarut-larutnya penyelesaian undang-undang.
[video width="1280" height="720" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2018/12/bamsut_dpr2_HD.mp4"][/video]
Masa persidangan DPR di 2018 berakhir, Kamis (13/12). Rapat Paripurna DPR yang diikuti oleh sekitar 130 dari 560 anggota DPR menandai berakhirnya masa persidangan tersebut. Selanjutnya, DPR memasuki masa reses, dan kembali bersidang, 7 Januari 2019.
Lima rancangan undang-undang (RUU) di Program Legislasi Nasional Prioritas Tahun 2018 yang disahkan DPR bersama pemerintah sepanjang 2018 adalah RUU tentang Serah Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam, RUU tengan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, RUU Kekarantinaan Kesehatan, dan RUU Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Adapun 45 lainnya yang belum tuntas, dimasukkan ke Prolegnas Prioritas 2019, sehingga diharapkan bisa tuntas tahun depan sebelum masa jabatan anggota DPR berakhir Oktober 2019.
“Sesuai Undang-Undang Dasar Tahun 1945, undang-undang dibahas dan disetujui bersama, DPR dan pemerintah. Kecepatan dan kelancaran pembahasan RUU juga sangat tergantung, tidak saja kesungguhan DPR tetapi pemerintah,” ujar Ketua DPR Bambang Soesatyo dalam pidato penutupan masa sidang di Rapat Paripurna.
Kesungguhan pemerintah disinggungnya karena dari sejumlah RUU, pemerintah dinilainya berkontribusi atas berlarut-larutnya pembahasan RUU. Dia mencontohkan RUU Kewirausahaan Nasional yang tak kunjung tuntas karena belum adanya koordinasi di antara kementerian/lembaga yang ditugaskan Presiden membahasnya.
Selain itu, di sejumlah RUU, pemerintah tak kunjung menyerahkan daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU. Padahal DPR sudah memperpanjang pembahasan RUU tersebut hingga lebih dari lima kali masa persidangan. Sebagai contoh RUU Wawasan Nusantara yang sudah diperpanjang hingga 13 kali masa persidangan.
Hal lain, seringkali menteri yang ditugaskan Presiden sebagai wakil pemerintah untuk membahas RUU, mengutus pejabat yang tidak berwenang mengambil keputusan. Bahkan tidak jarang, wakil pemerintah justru tak hadir saat pembahasan RUU di DPR. Ini setidaknya terlihat saat pembahasan RUU Pertembakauan, RUU Kewirausahaan Nasional, dan RUU Larangan Minuman Berakohol.
“DPR berharap para menteri yang telah ditunjuk Presiden lebih serius untuk segera membahas RUU bersama DPR, agar RUU dapat segera disahkan menjadi UU sebagai solusi mengatasi berbagai permasalahan rakyat,” kata Bambang.
[video width="1280" height="720" mp4="https://kompas.id/wp-content/uploads/2018/12/bamsut_dpr1_HD.mp4"][/video]
Namun menurut Peneliti di Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, pernyataan Bambang yang menyalahkan pemerintah semata upaya agar DPR tidak terus-menerus dikritik atas lambannya pembahasan RUU. Selain itu, upaya menutupi lemahnya kesungguhan DPR dalam membahas RUU.
“Realitanya, seringkali rapat (saat membahas RUU) tidak kuorum sehingga pembahasan RUU kerap terhambat atau jangan-jangan persoalan itu juga yang membuat pemerintah tidak bergairah untuk hadir dalam persidangan di DPR,” katanya.
Kesungguhan DPR untuk menghadiri rapat pembahasan RUU atau menggelar rapat pembahasan RUU bersama pemerintah kian memudar pasca 23 September 2018 atau setelah memasuki masa kampanye Pemilu 2019. Pasalnya mayoritas anggota DPR maju kembali di pemilu, dan mereka lebih memprioritaskan berada di daerah pemilihan masing-masing untuk kepentingan terpilih kembali daripada menghadiri atau menggelar rapat membahas RUU di DPR.
Menurutnya, kalaupun betul pemerintah tidak serius membahas RUU, DPR sebagai pengawas pemerintah memiliki kewenangan untuk mendesak pemerintah agar sungguh-sungguh. Namun kewenangan ini pun tidak pernah terlihat digunakan oleh DPR. Ini artinya DPR secara tidak langsung sadar kalau internal DPR sendiri bermasalah.
Sementara Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) beberapa waktu lalu menyarankan, kegagalan berulang untuk menyelesaikan RUU di prolegnas seharusnya mendorong DPR merumuskan strategi baru dalam melaksanakan fungsi legislasinya. Tidak hanya berkutat pada menghasilkan undang-undang tetapi memonitor sekaligus mengevaluasi implementasi undang-undang.
Salah satu persoalan mendasar sistem peraturan perundang-undangan saat ini adalah hiper regulasi. Jumlah peraturan perundang-undangan yang terlalu banyak, yang tidak diimbangi dengan efektifitas implementasi dari undang-undang itu.
Maka, DPR sebagai pemegang kekuasaan legislasi seharusnya berkontribusi pada persoalan tersebut. Tidak justru menambah persoalan dengan membuat perencanaan dan menyusun undang-undang yang tidak rasional dan tidak efektif.