Agnes Theodora Wolkh Wagunu dan Antonius Ponco Anggoro
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat perlu bertemu untuk mengevaluasi Program Legislasi Nasional 2019 dan membahas banyaknya rancangan undang-undang yang tak berhasil dituntaskan di Tahun 2018. Penyelesaian produk legislasi itu berpotensi menghadapi kendala karena mayoritas anggota DPR akan fokus mengikuti pemilihan umum, tahun depan. Apalagi, mengingat waktu kerja efektif juga semakin pendek karena masa kerja DPR periode 2014-2019 hanya sampai September 2019.
Sepanjang 2018, DPR bersama pemerintah hanya mampu mengesahkan lima dari 50 rancangan undang-undang (RUU) di Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2018. Puluhan RUU yang tidak tuntas itu kemudian dimasukkan di Prolegnas Tahun 2019. Selain itu, ada tambahan RUU baru dari pemerintah, DPR, dan DPD, sehingga jumlah total RUU di Prolegnas 2019, sebanyak 55 RUU.
“Dengan kendala-kendala di 2019, pemerintah dan DPR perlu bertemu untuk meninjau kembali seluruh RUU yang ada di Prolegnas 2019,” ujar Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR dari Fraksi PDI-P Arif Wibowo saat dihubungi, Jumat (14/12/2018).
Ia mengatakan, pemerintah bersama DPR perlu memetakan RUU yang harus segera disahkan di antara 55 RUU di Prolegnas 2019. Pemerintah dan DPR perlu berkomitmen memanfaatkan waktu tersisa di 2019 untuk fokus menyelesaikan RUU penting tersebut.
“Dari pemetaan tersebut, nanti bisa dilihat apakah RUU tertentu perlu dilanjutkan atau tidak. Kalau dilanjutkan, seperti apa solusinya untuk mengatasi persoalan yang membuat pembahasan RUU berlarut-larut,” tambahnya.
Solusi itu dinilainya lebih tepat daripada usulan yang muncul di Baleg DPR sebelumnya, yaitu merevisi UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan. Revisi itu rencananya memperbolehkan RUU yang tidak tuntas dilanjutkan di periode sekarang untuk dibahas di periode pemerintahan berikutnya. Sistem ini biasa dikenal dengan istilah carry over (Kompas, 30/10/2018).
Usulan revisi itu dinilai Arif tidak tepat karena bisa menyandera pemerintahan di periode berikutnya. Sebab, bisa jadi, pemerintahan terpilih berikutnya tidak melihat RUU yang belum tuntas di periode sebelumnya sebagai hal yang penting.
“Dalam sistem presidensial, daftar inventaris RUU itu mengikuti perencanaan pembangunan nasional yang merupakan derivasi dari visi-misi Presiden,” katanya.
Anggota Baleg DPR dari Fraksi Partai Nasdem Teuku Taufiqulhadi berpandangan sama.
“Kalau RUU yang tidak selesai bisa dibahas di periode pemerintahan berikutnya bisa menjadi beban pemerintahan terpilih. Yang terpenting sekarang itu, pilih RUU yang sangat penting, lalu prioritaskan untuk diselesaikan. Jadi, RUU yang dihasilkan bisa berkualitas, tidak perlu mengejar target yang ada di prolegnas,” jelasnya.
Masih pro dan kontra
Menurut anggota Baleg dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno, usulan menerapkan sistem carry over dalam pembahasan legislasi itu masih memunculkan pro dan kontra di internal Baleg. Sebagian anggota menilai, sistem carry over dapat menghemat anggaran negara karena RUU yang tidak tuntas dan sudah menghabiskan anggaran dapat tetap dilanjutkan di periode selanjutnya.
Namun, sebagian lagi menganggap sistem tersebut berpotensi merugikan anggota DPR. Sebab, anggota biasanya mendapatkan tunjangan yang cukup besar dari pembahasan RUU yang biasanya mencakup kunjungan kerja ke daerah, sampai ke luar negeri. Semakin banyak RUU baru yang dibahas dari titik nol, semakin banyak pula tunjangan yang didapat anggota dari kunker-kunker tersebut.
"Maka, kalau pertimbangannya kesejahteraan anggota dan kepentingan finansial anggota, maka tentu banyak yang tidak setuju (dengan sistem carry over). Argumentasinya, kalau (anggota) tidak sejahtera, bagaimana bisa bekerja dengan total," kata Hendrawan.
Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Miko Ginting menilai, carry over tidak bisa dijadikan solusi tunggal. Sebab, faktor buruknya performa legislasi DPR dan Pemerintah disebabkan oleh banyak faktor. Antara lain, materi yang rumit, kompleksitas peraturan, momentum penyusunan Prolegnas yang lambat serta waktu pembahasan RUU yang tidak tepat, dan kurangnya konsistensi dari kedua pihak.
Jika sistem carry over mau diterapkan, pengaturannya harus dibuat tegas agar tidak berujung kontraproduktif. Artinya, hanya RUU yang sudah dibahas hingga di atas 70 persen saja yang bisa dilanjutkan pembahasannya di periode berikutnya.
"Jadi tidak semua RUU di-carry over. Harus ada variabel, bahwa carry over hanya dilakukan ketika RUU sudah nyaris rampung, bahwa karena faktor kompleksitas masalah dan waktu yang tidak mencukupi maka dilanjutkan ke periode berikutnya," ujar Miko.