JAKARTA, KOMPAS – Dewan Perwakilan Rakyat mengevaluasi ulang target legislasinya di tengah kinerja yang semakin tidak efektif akibat kesibukan menyongsong perhelatan Pemilihan Umum 2019. Dari target awal 55 rancangan undang-undang dalam Program Legislasi Nasional 2019, DPR memilih memprioritaskan 17 RUU untuk dituntaskan di periode ini. Tiga RUU yang pembahasannya berlarut-larut berpotensi dihentikan.
Keputusan itu diambil pekan lalu dalam sejumlah pertemuan informal antara pimpinan alat kelengkapan DPR serta pertemuan formal rapat pimpinan DPR dan rapat Badan Musyawarah DPR. Kesepakatannya, target legislasi 2019 dipilah dan disusun ulang berdasarkan skala prioritas, yaitu RUU yang secara langsung dibutuhkan masyarakat serta RUU yang pembahasannya sudah nyaris rampung.
“Sudah dievaluasi dan dipilah, mana RUU yang bisa didorong jadi prioritas dan segera dituntaskan, serta mana yang bisa dikesampingkan atau ditunda. Berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, Dewan biasanya akan ngebut menyelesaikan banyak RUU pasca Pemilu,” kata Ketua DPR dari Fraksi Partai Golkar Bambang Soesatyo saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (16/12/2018).
Hasilnya, dari 55 RUU yang masuk dalam Prolegnas 2019, 17 RUU diprioritaskan tuntas tahun depan. Empat RUU, yaitu RUU tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah, RUU tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU tentang Perkoperasian, dan RUU tentang Kewirausahaan Nasional, ditargetkan selesai di masa sidang berikutnya yang dimulai 7 Januari 2019.
Sementara, 13 RUU sisanya diprioritaskan rampung sebelum DPR dan Pemerintah mengakhiri masa jabatnya, 1 Oktober 2019 mendatang. Itu termasuk sejumlah RUU yang saat ini marak disoroti dan dinantikan publik, seperti RUU tentang Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan RUU Aparatur Sipil Negara.
Anggota Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDI-P Hendrawan Supratikno mengatakan, target legislasi yang terlalu ambisius memang akan sulit dikejar, karena mayoritas anggota DPR fokus mempersiapkan diri menghadapi pemilihan legislatif. Oleh karena itu, menurutnya, pembahasan sejumlah RUU tersebut baru bisa efektif dilakukan usai perhelatan pemilu atau Mei 2019.
“Setelah pemilu, semua akan tancap gas lagi. Yang tidak terpilih mau mempersiapkan soft landing sebelum masa jabatnya berakhir, yang terpilih pasti semakin rajin karena sudah jor-joran di pemilu, jadi butuh sumber pemasukan baru (dari rapat-rapat di Senayan),” katanya.
Untuk sementara ini, ujar Hendrawan, waktu efektif anggota bekerja di Senayan hanya setiap hari Rabu dan Kamis, dan harus dibagi untuk tugas legislasi, pengawasan, maupnu anggaran. Sementara itu, Jumat hingga Selasa, akan dipakai anggota untuk berkunjung atau berkampanye di daerah pemilihan masing-masing.
“Kalau tidak begitu, mau bagaimana membagi waktu? Pertarungan di dapil itu tidak ada belas kasihan,” katanya.
Catatan Kompas, DPR dan Pemerintah periode ini baru memenuhi 11,6 persen dari target legislasi jangka panjangnya. Sejak mulai menjabat pada Oktober 2014 sampai hari ini, hanya 22 RUU prioritas (tidak termasuk RUU APBN, pengesahan perjanjian internasional, dan penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang) yang berhasil disahkan dari total 189 RUU di Prolegnas 2014-2019.
Saat ini, ada 28 RUU yang pembahasannya tengah berlangsung di tiap komisi dan panitia khusus DPR. Sebanyak 17 di antaranya sudah berkali-kali diperpanjang hingga masa pembahasannya melebihi lima kali masa sidang atau di atas satu tahun. RUU yang paling banyak diperpanjang adalah RUU KUHP, yaitu sampai 14 kali masa sidang (lebih dari tiga tahun).
Pembahasan dihentikan
Bambang mengatakan, dari 17 RUU itu, ada tiga yang berpotensi dihentikan pembahasannya yaitu RUU tentang Wawasan Nusantara, RUU tentang Larangan Minuman Beralkohol, dan RUU tentang Pertembakauan. Ketiga RUU dinilai mustahil diselesaikan karena terlalu berlarut-larut dan menghadapi kendala yang rumit, baik dari pihak DPR maupun Pemerintah.
“Keputusan rapat terakhir, tiga RUU itu diperpanjang satu kali masa sidang lagi (Januari 2019). Jika tidak selesai juga, maka DPR akan menyurati Pemerintah untuk bersama-sama menghentikan pembahasan RUU itu dalam sidang paripurna,” kata Bambang.
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, evaluasi secara jangka panjang perlu dilakukan untuk menghindari kinerja buruk seperti sekarang terulang di periode mendatang. Salah satu hal yang penting, menurutnya, perlu ada peraturan yang lebih ketat mengenai peraturan perpanjangan masa pembahasan RUU.
Pasal 140 Tata Tertib DPR mengatur, pembahasan RUU dilakukan dalam jangka waktu tiga kali masa sidang, tetapi dapat diperpanjang berdasarkan keputusan rapat paripurna DPR. Meski demikian, batas lama waktu perpanjangan tidak diatur. Akibatnya, pembahasan RUU bisa berlarut-larut hingga melebihi tiga tahun, seperti RUU KUHP.
Ke depan, ujar Lucius, perlu ada batasan masa perpanjangan yang tegas, misalnya, satu RUU hanya dapat diperpanjang hingga lima kali masa sidang. Di luar itu, jika tanpa alasan yang jelas, pembahasan dihentikan, karena hanya akan membuang-buang anggaran yang besar.
“Mekanisme perpanjangan pembahasan itu harus jelas untuk menutup peluang DPR dan pemerintah bermalas-malasan dan berlarut-larut menyelesaikan RUU,” katanya.