JAKARTA, KOMPAS – Kesadaran bela negara menjadi kunci dalam upaya menjaga bangsa dari segala bentuk ancaman. Perwujudan bela negera pun tidak semata-mata dengan pendekatan militeristik, tetapi juga pendekatan pentaheliks dengan melibatkan segenap elemen masyarakat.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto mengatakan, tantangan bangsa ke depan akan semakin besar seiring dengan perkembangan zaman dan teknologi, baik itu yang datang dari dalam, maupun luar negeri. Saat itulah, kesadaran bela negara perlu dibangun oleh segenap elemen masyarakat, tak hanya oleh TNI atau Polri.
"Sekarang saya katakan belum semua warga negara Indonesia punya kesadaran bela negara. Padahal, bela negara itu merupakan kewajiban kita bersama. Setiap warga negara harus mengambil bagian dari upaya pembelaan negara. Itu (diamanatkan) UUD 1945, tetapi, kan, banyak yang lupa," kata Wiranto dalam pembukaan Rembuk Nasional Bela Negara di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin (17/12/2018).
Acara tersebut digelar oleh Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) yang telah diberi tanggung jawab langsung oleh Presiden untuk merumuskan formula pendidikan bela negara secara nasional. Hal itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2018 per tanggal 18 September 2018 tentang Rencana Aksi Nasional Bela Negara.
Setidaknya, rembuk nasional dihadiri sekitar 300 peserta yang terdiri dari sekretaris daerah, anggota kepolisian dan TNI, serta perwakilan dari organisasi masyarakat dan lembaga swadaya masyarakat.
Wiranto menjelaskan, sejumlah ancaman dari dalam negeri yang perlu diantisipasi, seperti terorisme, radikalisme, separatisme, perdagangan manusia, hingga narkoba. Sedangkan, ancaman dari luar negeri, antara lain persaingan global dalam perdagangan dan perang proksi (proxy war). Potensi ancaman itu semakin besar mengingat kontestasi Pemilu 2019 semakin dekat.
"Kita, kan, akan menghadapi pemilihan legislatif dan pemilihan presiden, ada kompetisi dan ada persaingan di situ. Berkompetisi boleh, bersaing boleh, tetapi ingat, yang paling tinggi ada kewajiban bela negara sehingga jangan sampai pemilu ini justru mengkotak-kotakan bangsa kita," tutur Wiranto.
Pendekatan nonmiliter
Di kesempatan yang sama, Sekretaris Jenderal Wantannas Letnan Jenderal TNI Doni Monardo mengatakan, bela negara tidak hanya sekadar masalah menjaga pertahanan, tetapi juga mencakup seluruh aspek kehidupan, mulai dari menjaga sumber daya alam, tidak berperilaku koruptif, dan menjaga ideologi bangsa.
Karena itu, menurut Doni, masalah kebangsaan tidak melulu harus diselesaikan dengan pendekatan militeristik, tetapi memakai pendekatan pentaheliks. Itu berarti permasalahan harus dilihat dari konteks yang lebih luas, yakni kearifan lokal, sejarah, dan nilai-nilai luhur bangsanya.
"Jadi, ada budaya dan kearifan lokal yang kita jaga. Merawat perdamaian tak bisa kerja sendirian, harus kerja kolektif. Melibatkan peran tokoh agama dan masyarakat juga penting," tutur Doni.
Sementara itu, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Dini Dewi Heniarti, mengatakan, meskipun bela negara sudah diberi payung hukum, pemerintah masih memiliki pekerjaan rumah yang besar untuk memastikan kesadaran bela negara itu terwujud di masyarakat. Sebab, mengacu pada dunia akademis sendiri, Dini mengaku prihatin bahwa kesadaran bela negara itu tak kunjung muncul dalam diri mahasiswa meski sudah mendapatkan pendidikan kewarganegaraan dan kebangsaan di masa perkuliahan.
"Ini, kan, berarti ada sesuatu yang salah, belum tepat. Padahal model pembelajarannya sudah ada. Jangan sampai, program bela negara ini hanya menjadi pembelajaran semata tetapi nilai-nilainya tidak terinternalisasi dengan baik," kata Dini.
Karena itu, menurut Dini, penting ada sinergitas antar-setiap instansi dan organisasi dari tingkat pusat hingga daerah untuk mewujudkan kesadaran bela negara. Pemerintah pun perlu memiliki alat ukur yang jelas dari keberhasilan program bela negara nanti.
"Jadi, kita bisa lihat prosesnya sampai sejauh mana dan bisa mengukur program bela negara yang saat ini, ada evaluasi dan ada alat ukurnya. Jadi tidak asal dijalankan. Karena kalau sesuatu diukur dengan alat ukur yang tidak jelas maka hasilnya juga tidak jelas," ujar Dini.