”Fee” Proyek Dianggap Sesuatu yang Wajar dan Legal
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Imbalan yang dialokasikan pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo kepada mantan Wakil Ketua Komisi VII DPR Eni Maulani Saragih dan mantan Ketua DPR Setya Novanto dianggap wajar karena telah membantu untuk memperoleh proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap Riau-1. Namun, uang Rp 4,75 miliar yang diberikan kepada Eni diklaim bukan termasuk bagian imbalan tersebut.
”Itu murni saya hanya ingin membantu karena waktu itu Bu Eni minta untuk membantu suaminya yang akan maju pilkada. Uang tersebut tidak ada hubungan dengan PLTU, apalagi bagian dari fee,” kata Kotjo yang menjadi saksi bersama Novanto untuk Eni di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Selasa (18/12/2018).
Sebelumnya, Eni didakwa menerima suap senilai Rp 4,7 miliar terkait dengan proyek pembangunan PLTU Riau-1. Selain suap, ia juga didakwa menerima gratifikasi senilai Rp 5,6 miliar dan 40.000 dollar Singapura dari beberapa direktur dan pemilik perusahaan yang bergerak di bidang minyak dan gas.
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Ronald Worotikan, pun menanyakan tentang jatah fee 2,5 persen. ”Lalu mengenai jatah 2,5 persen yang sempat disampaikan di lobi PLN?” kata Ronald.
”Iya saya sempat sampaikan saat di PLN setelah Bu Eni mempertemukan saya dengan Pak Sofyan (Direktur Utama PT PLN Sofyan Basir). Saya beri tahu kalau saya akan dapat fee 2,5 persen dari proyek ini dan itu halal karena merupakan bagian dari agency fee. Namun, saya tidak pernah bilang nominalnya Bu Eni dapat berapa. Jadi, sebenarnya dalam usaha itu sudah biasa kalau 2,5 persen itu orang sudah akan tahu untuk jumlah segitu dan insya Allah fee-nya legal,” kata Kotjo.
”Ini termasuk untuk Pak Setya Novanto juga disampaikan?” kata Ronald.
”Saya tidak pernah bilang (ke Novanto), saya asumsi dia tahu karena itu common sense angka 2,5 persen itu,” kata Kotjo.
Kotjo pun menjelaskan fee tersebut layak diberikan kepada Novanto karena telah membantunya dapat bertemu dengan Sofyan dan mendapat proyek. ”Ya karena membantu, mengenalkan, mencari jalan. Karena melalui beliau (Novanto), saya akhirnya diterima Pak Sofyan. Mungkin kalau enggak ada beliau, saya enggak diterima dan enggak ketemu,” kata Kotjo.
Sementara Novanto yang duduk di samping Kotjo mengaku tidak mengetahui adanya rencana pemberian jatah tersebut. Namun, Novanto juga menganggap persentase imbalan yang sedianya akan diberikan itu umum dilakukan. ”Saya dulu pernah jadi pengusaha juga. Itu biasa kalau usaha dengan pihak asing memang biasanya mereka investasi dan dibayar dengan 1 persen atau 2 persen. Itu umum,” ujar Novanto.
Dalam sidang yang dipimpin Ketua Majelis Hakim Yanto, tim jaksa menunjukkan catatan milik Kotjo yang berisi pembagian jatah fee kepada sejumlah pihak. Pada daftar tersebut, Novanto ditulis mendapat jatah sebesar 6 juta dollar AS sama dengan Kotjo. Adapula CEO Blackgold Natural Resources Philip Rickard sebesar 3,125 juta dollar AS, Direktur Utama PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang 1 juta dollar AS, dan other, yaitu pihak-pihak yang membantu sejumlah 875.000 dollar AS yang di antaranya Eni.
Dianggap legal
Selain itu, jaksa juga menampilkan cuplikan percakapan antara Kotjo dan Eni pada 23 Februari 2018 melalui aplikasi pesan Whatsapp yang diduga membahas mengenai fee. Nama Sofyan turut disebut dalam percakapan itu. ”SB bilang ’Bu Eni dapatnya harus yang the best ya. Karena di sini Bu Eni yang fight’ saya bilang aman. Yang fight kita bertiga lah. Pak SB juga fight, Pak Kotjo,” tulis Eni dalam pesan tersebut.
Bahkan, Eni menambahkan, ”SB sangat mengerti itung-itungan. Besok-besok katanya jangan dipirit-pirit. Langsung saja. Biar cepat. Gak bolak-balik.” Yang dibalas Kotjo, ”Besok-besok lebih cepat karena sudah tahu maunya PLN.” Namun, Kotjo menjelaskan percakapan itu tentang masa pengendalian joint venture company yang diminta PLN hanya 15 tahun.
Atas kesaksian ini, Eni senada dengan Kotjo bahwa fee 2,5 persen dari keseluruhan nilai proyek tersebut merupakan hal yang wajar. Namun, imbalan tersebut belum diperolehnya, uang yang mengalir kepadanya hanya berupa bantuan dan tidak berkaitan dengan proyek PLTU Riau-1. Pernyataannya kali ini berbeda dengan beberapa pekan sebelumnya yang menyatakan uang yang diterimanya adalah bagian dari proyek.
”Fee itu halal dan legal karena Pak Kotjo mendaftarkannya dengan pajak. Saya membantu karena saya yakin tak menyalahi aturan. Saya mengakui memang ada pemberian bantuan Pak Kotjo sebanyak empat kali dengan jumlah Rp 4 miliar. Namun, pemberian itu tak terkait PLTU. Semua pemberian itu ada tanda terimanya. Jadi, saya tak sembunyi-sembunyi karena saya enggak anggap itu suap,” kata Eni.