JAKARTA, KOMPAS – Komitmen pemberantasan korupsi dari tiap lembaga negara dan pemerintah daerah kembali ditagih. Berbagai operasi tangkap tangan, pengembangan perkara, dan upaya pencegahan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi sepanjang 2018 masih menunjukkan korupsi politik yang terus menggerogoti keuangan negara.
Keterlibatan anggota DPR/DPRD dan kepala daerah aktif masih dominan dalam penanganan perkara yang dilakukan KPK. Setidaknya ada 91 perkara yang melibatkan anggota DPR/DPRD dan ada 29 kepala daerah aktif pada 28 perkara yang ditangani KPK hingga melibatkan pihak swasta. Jumlah ini berasal dari operasi tangkap tangan dan pengembangan perkara.
Jumlah operasi tangkap tangan sendiri tercatat 30 kegiatan dan merupakan yang terbanyak sejak KPK berdiri. Pada 2017, KPK melakukan 19 operasi tangkap tangan. Sementara pada 2016, ada 17 operasi tangkap tangan. Jika merujuk pada operasi tangkap tangan saja, maka kepala daerah yang paling banyak terjaring.
“Tahun ini memang menjadi yang terbanyak sepanjang sejarah KPK. Ini menunjukkan performa penindakan. OTT ini awalnya yang ditemukan kecil, tapi membuka ruang lebih besar kalau mau masuk ke tindak pidana korupsi yang lain, seperti gratifikasi hingga tindak pidana pencucian uang yang tujuannya mengejar aset,” kata Ketua Agus Rahardjo dalam dalam Konferensi Kinerja KPK 2018 di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (19/12/2018).
Untuk modusnya, penyuapan masih dominan yakni sebanyak 152 perkara. Diikuti dengan pengadaan barang/jasa sebanyak 17 perkara, serta tindak pidana pencucian sebanyak 6 perkara. Sementara itu, lebih dari Rp 500 miliar dari penanganan perkara telah masuk ke kas negara dalam bentuk Pajak Negara Bukan Pajak.
Tren korupsi politik yang tak berubah membuat KPK meluncurkan Sistem Integritas Partai Politik sebagai sarana pencegahan dan mengeluarkan Survei Potensi Benturan Kepentingan Pendanaan Pilkada 2018. Diikuti dengan diterbitkannya Panduan Pencegahan korupsi untuk Dunia Usaha. Di 2019 yang menjadi masa akhir kepemimpinan lima komisioner saat ini, KPK pun menargetkan 200 perkara bisa ditangani.
“Perbaikan pada sektor politik dan swasta menjadi perhatian KPK. Keduanya merupakan sektor strategis dan perlu dibenahi demi masyarakat. Apalagi kajian KPK pada 2018 terkait Pilkada menunjukkan 20 orang responden mengaku membayar mahar kepada parpol yang besarannya antara Rp 50-500 juta per kursi,” tutur Wakil Ketua KPK Alexander Marwata.
Besarnya biaya Pilkada yang tidak didukung oleh kemampuan harta pasangan calon ini membuat mereka mencari donatur yang didominasi oleh pengusaha. Dari sejumlah operasi tangkap tangan yang melibatkan kepala daerah, suap dan bagi proyek yang dilakukan terbukti berkaitan dengan keperluan Pilkada tersebut.
LHKPN Rendah
Selain itu, KPK juga menyoroti rendahnya kepatuhan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara di kalangan anggota legislatif pusat dan daerah. Dari 18.224 wajib lapor di jajaran legislatif, hanya 24,6 persen yang menyerahkan LHKPN. Berbeda dengan eksekutif yang mencapai 65,5 persen dari 238.482 wajib lapor. Begitu pula BUMN/BUMD dengan persentase 84 persen dari 25.418 wajib lapor, dan 47,75 persen dari 22.522 wajib lapor di kalangan yudikatif.
Untuk gratifikasi, BUMN/BUMD menjadi institusi terbanyak melapor sebanyak 597 laporan, diikuti kementerian 578 laporan, dan pemerintah daerah sebanyak 380 laporan. Dari laporan tersebut, total gratifikasi yang ditetapkan sebagai milik negara senilai Rp 8,5 miliar, terdiri dari tunai Rp 6,2 miliar dan barang senilai Rp 2,3 miliar.
KPK juga berupaya meningkatkan penerimaan dari sektor pajak, salah satunya berasal dari pajak reklame yang dapat dimanfaatkan sebagai pendapatan daerah. Provinsi DKI Jakarta menjadi sorotan karena dinilai KPK belum optimal melakukan perbaikan sistem. Padahal KPK telah memberikan pendampingan pada 2017 agar potensi peningkatan penerimaan pajak DKI sebesar Rp 4,9 triliun dapat terserap dan digunakan untuk pembangunan.
“Sampai saat ini belum, potensi tersebut akan hilang jika tidak segera dilakukan perbaikan. Sebagian daerah yang didampingi seperti enam provinsi di Sumatera misalnya sudah melakukan perbaikan untuk sektor ini yang meliputi bidang usaha perhotelan, restoran, hingga parkir. Sekurangnya ada Rp 53 miliar yang berhasil diperoleh dari penerimaan pajaknya,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif.