JAKARTA, KOMPAS Upaya memanusiakan manusia merupakan tujuan dan inti pesan demokrasi yang dicita-citakan negeri ini sebagaimana kerap diucapkan almarhum presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid. Kontestasi politik dalam rangkaian pesta demokrasi pada 17 April 2019 diharapkan tidak melupakan tujuan utama kehidupan bernegara, apalagi sampai mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
Pentingnya menjaga nilai-nilai kemanusiaan kembali diingatkan dalam acara haul ke-9 KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di kediaman keluarga di Ciganjur, Jakarta Selatan, Jumat (21/12/2018).
Sejumlah tokoh hadir dalam peringatan itu, antara lain dua mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD dan Jimly Asshiddiqie; Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan; Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin; Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo; Komandan Komando Satuan Tugas Bersama Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono; anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Agum Gumelar; pengasuh Pondok Pesantren Al Anwar, Sarang, Rembang, KH Maemun Zubair; sejumlah ulama dan rohaniwan dari berbagai agama; serta perwakilan negara sahabat.
Ribuan santri dari sejumlah daerah menghadiri acara haul itu sejak pagi hari. Lantunan shalawat dan syi’ir tanpo waton, yang kerap disebut sebagai shalawat Gus Dur, menggema di awal acara. Hadirin tenggelam dalam lirik syi’ir berbahasa Arab dan Jawa yang isinya mengajak umat untuk hidup rukun, tak saling menjelekkan, apalagi mencaci maki, serta merasa dirinya paling pintar dan benar sendiri.
Ketua Panitia Haul Ke-9 Gus Dur, Alissa Wahid, mengatakan, potensi peningkatan intoleransi, diskriminasi, bahkan konflik kekerasan menjelang pemilihan presiden dikhawatirkan banyak pihak. Kajian sejumlah lembaga riset menunjukkan tren mengkhawatirkan. Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada Agustus lalu, misalnya, menyebutkan, 23,6 persen dari 145 ahli dari 11 provinsi yang dimintai pendapatnya mengatakan politisasi suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) serta identitas masih akan terjadi dalam Pemilu 2019. Adapun 12,3 persen mengatakan ada potensi konflik horizontal di antara pendukung dua pasangan calon.
Pemilihan Presiden 2019 diikuti pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-KH Ma’ruf Amin, dan pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno.
Ketegangan juga tergambar dalam berbagai unggahan di media sosial yang kerap diwarnai ujaran kebencian dari para pendukung calon presiden. Alissa memberikan catatan bahwa isu agama kerap dipakai untuk menaikkan atau menurunkan elektabilitas seseorang dalam kontestasi politik di sejumlah daerah.
”Situasi ini jelas mengkhawatirkan. Kita harus memberi pesan tegas kepada para calon presiden, calon anggota legislatif, dan masyarakat luas bahwa politik bukan tujuan, melainkan sarana menegakkan nilai luhur kemanusiaan,” kata putri sulung Gus Dur itu.
Dalam konteks kekuasaan dan kemanusiaan itu, Alissa mencontohkan, saat lengser sebagai presiden tahun 2001, Gus Dur melarang pendukungnya bergerak ke Jakarta. Bagi Gus Dur, tidak ada jabatan setinggi apa pun yang pantas diperjuangkan dengan darah. ”Gus Dur kalah secara politik, tetapi mendahulukan rakyatnya dan kemanusiaan,” ujarnya.
Pejuang demokrasi
Mahfud mengatakan, Gus Dur merupakan pejuang demokrasi. Ia percaya ada tiga hal yang menopang demokrasi, yakni kebebasan berpendapat bagi setiap orang, kesamaan kedudukan antarwarga negara, dan penegakan hukum.
”Dalam tiga lingkungan itulah demokrasi akan hidup,” ucap Mahfud.
Ketua Setara Institute Hendardi mengemukakan, kemanusiaan menjadi pilar yang penting dalam demokrasi. Jangan hanya karena berebut kekuasaan, nilai-nilai kemanusiaan dikorbankan. ”Momentum pilpres menjadi kesempatan merefleksikan diri kita sebagai bangsa untuk tetap mengingat nilai-nilai kemanusiaan dan saling menghargai satu sama lain kendati berbeda pilihan politik,” ujarnya.