JAKARTA, KOMPAS – Tidak lanjut laporan dugaan pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana pemilu terkait pencalonan Oesman Sapta dalam pemilihan anggota Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilu 2019 mulai bergulir di Badan Pengawas Pemilu. Masyarakat sipil mengingatkan Bawaslu untuk melihat perkara ini dari perspektif konstitusionalitas pemilu.
Bawaslu merencanakan persidangan dengan agenda putusan pendahuluan terkait pelaporan pelanggaran administrasi pemilu yang dilaporkan kuasa hukum Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta, akan berlangsung Rabu (26/12/2018). Dalam perkara tersebut, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi terlapor. KPU dianggap tidak menjalankan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang memerintahkan KPU memasukkan nama Oesman Sapta ke daftar calon tetap (DCT) DPD.
Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja dihubungi dari Jakarta, Selasa (25/12/2018) menuturkan, Bawaslu sudah menggelar rapat pleno membahas pemenuhan syarat formil dan materiil dari permohonan dugaan pelanggaran administrasi yang diajukan kuasa hukum Oesman Sapta Odang. Pada Rabu pagi, Bawaslu akan menyampaikan hasil kajian tersebut dalam sidang putusan pendahuluan. Jika syarat formil dan materiil tidak terpenuhi, maka sidang tidak akan dilanjutkan, tetapi jika syarat tersebut terpenuhi maka Bawaslu akan melanjutkan persidangan dengan agenda pemeriksaan.
“Jika persidangan dilanjutkan, kami ada waktu 14 hari kerja sejak perkara diregistrasi untuk memeriksa perkara hingga putusan,” kata Bagja.
Sementara itu, terkait dugaan pidana pemilu yang juga dilaporkan kuasa hukum Oesman Sapta, pembahasan pertama di Sentra Gakumdu sudah dilaksanakan untuk menilai apakah unsur-unsur dugaan pelanggaran yang dilaporkan terpenuhi atau tidak. Kendati perwakilan Bawaslu, Polri, dan Kejaksaan sudah menyampaikan pandangan dalam pembahasan tersebut, tetapi Bagja menyampaikan, masih diperlukan satu kali pembahasan sebelum menentukan apakah laporan ini bisa ditindaklanjuti atau tidak.
Terkait penanganan laporan tersebut, koalisi masyarakat sipil juga akan mendatangi Bawaslu serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) agar kedua lembaga itu konsisten menegakkan konstitusi. Peneliti senior Jaringan untuk Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) Hadar Nafis Gumay menuturkan, rencana itu akan dilaksanakan pada Rabu atau Kamis. “Harapannya, Bawaslu memproses kasus ini dengan melihat melalui perspektif yang luas, mengangkat aspek konstitusionalitas pemilu dan penyelenggaraan pemilu dalam satu sistem demokrasi yang konstitusional,” kata Hadar.
Sementara itu, KPU juga menyampaikan kesiapannya menghadapi upaya hukum yang dilakukan menyikapi keputusan KPU terkait pencalonan Oesman Sapta. Anggota KPU Wahyu Setiawan menuturkan, KPU membuat keputusan menyikapi putusan PTUN Jakarta soal pencalonan Oesman Sapta berdasarkan rapat pleno yang bulat dan berdasarkan landasan kokoh putusan Mahkamah Konstitusi “KPU tentu siap dengan segala konsekuensi pascapengambilan keputusan melalui rapat pleno,” katanya.
Seperti diberitakan, MK menyatakan calon anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus parpol, sedangkan Mahkamah Agung menyatakan PKPU tentang Pencalonan DPD yang mengadopsi putusan MK itu berlaku sepanjang tidak diberlakukan surut. Kemudian, putusan PTUN Jakarta memerintahkan KPU untuk memasukan nama Oesman Sapta dalam daftar calon tetap (DCT) DPD. KPU menindaklanjutinya dengan memberi kesempatan Oesman Sapta menyerahkan surat pemberhentian dari kepengurusan parpol hingga tanggal 21 Desember, jika ingin namanya masuk dalam DCT DPD.
Kuasa hukum Oesman Sapta, Dodi Abdul Kadir juga sempat menyampaikan bahwa KPU tidak pernah mengirimkan surat ke Oesman Sapta sebagai bakal calon anggota DPD. Surat KPU tertanggal 8 Desember 2018 tentang pengunduran diri dari kepengurusan parpol itu diserahkan kepada Ketua Umum Hanura Oesman Sapta, bukan kepada Oesman sebagai bakal calon anggota DPD. Menurut dia, tidak ada kewenangan KPU untuk meminta mundur ketua umum partai.
Selain itu, dia juga menegaskan, KPU tidak bisa mencampuradukkan putusan MK, MA, dan PTUN Jakarta karena sifat putusan MK berbeda fungsi dan tujuannya dengan putusan MA dan PTUN Jakarta. “Fungsi MK hanya menilai undang-undang terhadap UUD 1945. Kemudian penilaian penerapan undang-undang itu jadi kewenangan MA. Kewenangan menilai suatu tindakan penyelenggara negara, KPU, ada di PTUN,” katanya.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.