Partisipasi Pemilih dan Tantangan Lembaga Demokrasi
Dengan kata lain, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh tidak baiknya performa pemerintah yang terpilih melalui proses pemilu
Pada Pemilu 2019, tingkat partisipasi pemilih ditarget naik dari 75 persen menjadi 77,5 persen. Sebuah upaya untuk mendorong lebih banyak masyarakat ambil bagian dalam proses demokrasi. Namun, sejauh ini, tingkat partisipasi belum diikuti membaiknya “konversi” pilihan rakyat menjadi kebijakan untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat.
Tahun 2018 ditandai dengan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2018 di 171 daerah. Kendati tetap ada sengketa hasil, tetapi secara umum, pemilihan kepala daerah itu dinilai berlangsung relatif lancar. Partisipasi masyarakat dalam pilkada kali ini, berdasar data dari Komisi Pemilihan Umum, rata-rata 73 persen. Persentase ini masih di bawah target 77,5 persen yang dicanangkan oleh KPU RI.
Di Indonesia, persentase partisipasi pemilih cenderung turun dari pemilu ke pemilu. Basis data Partisipasi Pemilih International Institute for Democracy and Electoral Assistance (IDEA) menunjukkan pada Pemilu Legislatif 1999, partisipasi pemilih mencapai 93,3 persen, kemudian pada Pemilu 2004 menjadi 84,09 persen, lalu Pemilu 2009 menjadi 70,90 persen, dan sedikit naik menjadi 75,11 persen pada Pemilu 2014. Sementara itu, di era Orde Baru, rata-rata partisipasi pemilih dari 1971 hingga 1997 ada di kisaran 94 persen.
Di kawasan Asia Tenggara, berbasis data pemilu terakhir, data International IDEA menunjukkan Indonesia berada di peringkat delapan, di bawah Vietnam (99,3 persen), Laos (97,9 persen), Singapura (93,6 persen), Kamboja (83 persen), Malaysia (82,3 persen), Filipina (82 persen), Timor Leste (81 persen). Indonesia berada di atas Myanmar (69,7 persen), dan Thailand (46,8 persen). Hanya beberapa saja dari negara itu yang mewajibkan warganegaranya untuk menggunakan hak pilihnya dalam pemilu, yakni Singapura dan Thailand.
Tingkat partisipasi pemilih kerap mendapat perhatian dari peneliti politik. Sebab, tingkat partisipasi pada umumnya dikaitkan dengan legitimasi dan kualitas demokrasi. Tinggi dan rendahnya partisipasi pemilih bisa dikaitkan dengan beberapa faktor, seperti tingkat pendidikan, tingkat usia pemilih, serta tingkat ekonomi masyarakat. Namun, ada juga kajian yang menunjukkan adanya relasi timbal balik antara tingkat partisipasi masyarakat dengan kinerja pemerintah yang dipilih. Dengan kata lain, rendahnya tingkat partisipasi masyarakat juga dipengaruhi oleh tidak baiknya performa pemerintah yang terpilih melalui proses pemilu.
Misalnya, Aksel Sundström dan Daniel Stockemer dalam Quality of Government Affect Vote Turnout in the European Region (2013), menuturkan pemerintah yang performanya tidak baik, bahkan cenderung korup, membuat warganegara mengambil jarak dari proses politik demokratik. Kecenderungan ini lebih terlihat di tingkat regional atau lokal di mana masyarakat lebih banyak berhadapan dengan aparatur pemerintahan dalam kehidupan sehari-hari.
Terjadi kesenjangan
Di Indonesia, di tengah kecenderungan penurunan tingkat partisipasi pemilih, juga ada fenomena lain yang dianggap peneliti politik bisa menjadi ancaman terhadap konsolidasi demokrasi di Indonesia, yakni kesenjangan antara tingkat partisipasi dan kinerja elite terpilih.
“Sejauh ini kita masih berhasil dari sisi kuantitas demokrasi elektoral, tetapi dari sisi kualitasnya masih ada kekurangan. Hak pilih yang digunakan masyarakat itu belum menjadi voice (suara). Ibarat telur, tidak menetas,” kata Syarif Hidayat, peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang juga anggota tim ahli penyusunan Indeks Demokrasi Indonesia Badan Pusat Statistik dihubungi dari Jakarta, Jumat (21/12/2018).
Syarif menuturkan, kecenderungan ini juga terlihat dari beberapa indikator yang membentuk Indeks Demokrasi Indonesia. Dia menuturkan, IDI 2017 memang naik 2,02 poin menjadi 72,11 dibandingkan IDI 2016 tetapi dalam jangka panjang relatif stagnan. Namun, dia juga menyoroti dua variabel vital terkait aspek lembaga demokrasi yang tidak menggembirakan dalam IDI tersebut, yakni peranan DPRD dan peranan birokrasi. Pada IDI 2017, peranan DPRD mendapat nilai 56,26, sedangkan peranan birokrasi pemerintahan daerah 56,26. Sementara itu, variabel partisipasi pemilih mendapat nilai 75.
“Data ini menggambarkan bahwa pemilu baru berhasil menghasilkan vote, tetapi tidak menghasilkan voice. Peranan legislatif yang melempem. Seharusnya tingkat partisipasi pemilih yang tinggi itu bisa semuanya diubah menjadi voice, menjadi suara di parlemen dan kebijakan yang dijalankan untuk masyarakat,” kata Syarif.
Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu Kaka Suminta juga menyampaikan pandangan serupa. Menurut dia, kesenjangan antara “vote” dan “voice” itu tidak bisa dilepaskan dari proses kepartaian yang memang masih bermasalah. Partai belum mampu memodernisasi diri dengan menerapkan prinsip demokratis di internal partai politik. Hal ini berujung pada calon yang ditawarkan kepada pemilih dalam pemilu juga bukan sosok yang benar-benar berkualitas dan bisa berkinerja baik ketika mereka sudah terpilih.
“Karena ada kelemahan dari sistem demokratisasi parpol maka yang terjadi tidak ada merit system di internal partai,” kata Kaka.
Mencari solusi
Solusi jangka panjang yang bisa dilakukan ialah dengan memperbaiki profesionalitas dan modernisasi partai politik. Namun, di tengah tahapan Pemilu 2019 menjelang hari pemungutan suara pada 17 April 2019, Kaka menilai, penting bagi semua peserta pemilu untuk menggunakan isu kebangsaan dan isu programatik untuk memberi pendidikan politik ke masyarakat. Dengan begitu, perlu dihindari penggunaan isu yang berbau hoaks maupun berbasis primordialisme dalam kampanye. Penguatan konten kampanye ini juga dinilai sangat penting agar masyarakat bisa memilih figur yang terbaik untuk mewakili mereka.
Selain itu, Syarif juga menilai perlu ada upaya ekstra untuk mencegah terjadinya kecurangan dalam pemilu, termasuk penggunaan politik uang. “Masyarakat harus hati-hati dalam memilih calon legislatif di pusat dan daerah. Pilih yang punya rekam jejak bagus. Jangan pilih politisi yang korup. Sebab pasti tidak akan ‘menetas’ (jadi kinerja),” katanya.
Lantas apa yang bisa dilakukan penyelenggara Pemilu? Anggota Komisi Pemilihan Umum Viryan Azis menuturkan, KPU akan berupaya menyampaikan informasi terkait calon yang berkompetisi ke pemilih. “KPU ada kewajiban untuk itu. Kami akan mengoptimalkan hal ini dengan menggunakan aplikasi mobile. Sehingga memudahkan masyarakat,” kata Viryan.
Akankah kesenjangan antara tingkat partisipasi pemilih dan kinerja lembaga demokrasi ini semakin menyempit? Kita tunggu saja…