JAKARTA, KOMPAS – Tahun 2019 menjadi tahun terakhir pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi saat ini. Pimpinan KPK periode 2015-2019 berkomitmen untuk menyelesaikan 200 perkara tahun ini, utamanya beberapa tunggakan kasus lama yang belum tuntas.
Sepanjang 2018, KPK berhasil menyelesaikan lebih dari 100 perkara dan menggelar 30 operasi tangkap tangan. Jumlah OTT itu meningkat dibandingkan tahun 2017 dengan 19 penangkapan.
Ketua KPK Agus Rahardjo, Minggu (6/1/2019), di Jakarta, mengatakan, perfoma penindakan KPK tahun lalu cukup baik.
”OTT juga menjadi yang tertinggi sepanjang sejarah KPK. KPK juga membuka ruang untuk tindak pidana yang lain selain korupsi, seperti tindak pidana pencucian uang,” ujarnya.
Namun, Agus mengakui masih memiliki utang sejumlah kasus besar yang belum terselesaikan. ”Mudah-mudahan sebelum mengakhiri tugas kami di KPK semua berproses. Tapi yang pasti, tidak ada satu pun yang berhenti penanganannya,” tutur Agus.
Kasus-kasus yang dimaksud, antara lain, dugaan korupsi dalam pengadaan Quay Container Crane PT Pelindo II dengan tersangka Richard Joost Lino, dugaan suap pengadaan pesawat dan mesin pesawat Airbus SAS dan Rolls-Royce PLC dengan tersangka Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo, pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) yang menyisakan Markus Nari sebagai tersangka, serta pengembangan perkara Bank Century dan BLBI.
Kendati demikian, Agus menyadari target itu tak mudah untuk dicapai. Apalagi kenaikan anggaran yang diajukan sukar untuk dipenuhi dan kebutuhan sumber daya manusia juga meningkat.
Agus mengatakan pentingnya memperkuat sinergi dengan kejaksaan dalam penanganan perkara. Akan tetapi, anggaran penanganan perkara di kejaksaan menjadi pertimbangan pembagian perkara belum optimal dilakukan.
“Pembagian perkara kami sedang memikirkan, tapi anggaran Kejari (Kejaksaan Negeri) misalnya hanya bisa tangani 1 kasus, karena itu beberapa kasus yang ada di kami, permulaannya di KPK kalau ada lanjutannya serahkan Kejari atau Kejati setempat. Harapan di 2019 ini berjalan lancar sesuai dengan amanat di UU KPK,” ujar Agus.
Secara terpisah, Jaksa Agung HM Prasetyo menyampaikan tak ada masalah dengan penanganan perkara di kejaksaan meski anggarannya terbatas. Pihaknya pun bersedia membantu KPK karena sinergi antarpenegak hukumlah yang dapat membatasi ruang gerak koruptor.
Pencegahan
Pencegahan melalui tim nasional Strategi Nasional Pencegahan sesuai dengan Peraturan Presiden yang berkantor di KPK juga menjadi fokus lain di tahun 2019. Performa penindakan, lanjut Agus, semestinya seimbang dengan performa pencegahan korupsi. Ia mencontohkan, APBN 2019 mencapai Rp 2,165 triliun. Apabila keuangan negara itu dikorupsi setidaknya 10 persen, maka potensi kerugian negaranya mencapai Rp 200 triliun. Hal itulah, kata Agus, yang perlu dicegah KPK agar korupsi tak terjadi.
Peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW), Lalola Easther Kaban, sepakat pencegahan juga perlu diperkuat diiringi dengan pemantauan. Kerja sama pun diharapkan tidak hanya berhenti pada sesama penegak hukum, berbagai lembaga negara sudah semestinya didampingi dan didorong untuk membuat mekanisme kerja yang lebih akuntabel, transparan, dan partisipatif untuk mencegah korupsi.
“Sudah saatnya KPK menyasar ke hal-hal yang sifatnya lebih mendasar. Jadi, KPK tidak terkesan hanya seperti pemadam kebakaran saja. Perlu inisiatif yang lebih besar dalam membangun sistem untuk mencegah korupsi di lembaga-lembaga negara. Fokus ini yang perlu dilakukan,” ujar Lalola.