JAKARTA, KOMPAS — Belakangan ini, sejumlah aksi terorisme memanfaatkan perempuan sebagai pelaku. Namun, hendaknya posisi perempuan secara hakiki dipandang sebagai korban karena mereka diduga menjadi korban pemanfaatan atas ketidakberdayaan mereka. Sudah saatnya penanganan atas mereka dilakukan dengan menggunakan konsep korban, bukan sebagai pelaku.
Isu tersebut mengemuka dalam peluncuran dan diskusi buku berjudul Perempuan dan Terorisme karangan Leebarty Taskarina di Gramedia Matraman, Jakarta, Sabtu (12/1/2019).
Hadir sebagai pembicara Ketua Yayasan Indonesian Conference on Religion and Peace Siti Musdah Mulia dan Kepala Satuan Tugas Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Ajun Komisaris Besar Didik Novi Rahmanto.
Musdah mengatakan, pada umumnya, perempuan terlibat aksi teror karena mendapatkan doktrin dari suami yang terlebih dahulu terpapar ideologi radikalisme agama. Sebagian perempuan melibatkan diri karena mengalami kekecewaan yang amat dalam, putus asa, dan dibelenggu oleh laki-laki atas nama agama.
”Sebagian mereka frustrasi dengan kondisi ketidaksetaraan dan ketidakadilan jender. Mereka memiliki relasi yang tidak adil dalam hubungan suami istri,” ujar Musdah.
Adapun peristiwa serangan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, pada 13 Mei 2018 melibatkan para perempuan. Aksi itu dilakukan Dita Oeprianto (48) dan Puji Kuswati (43) yang juga melibatkan empat anak mereka. Dua putra Dita, YF (18) dan FH (16), meledakkan diri di salah satu gereja. Sementara Puji membawa dua putrinya, FS (12) dan FR (9), meledakkan diri di gereja lainnya.
Pemanfaatan perempuan dalam aksi itu juga karena perempuan cenderung loyal dalam melakukan sesuatu. Motif keterlibatan mereka adalah menaati perintah suami. ”Mereka cenderung tidak membantah ajakan suami untuk melakukan permintaannya,” kata Musdah.
Keberpihakan
Leebarty menuturkan, perhatian kepada istri pelaku kejahatan terorisme tertuju pada relasi korban kejahatan terorisme yang terlupakan. Keberpihakan dibutuhkan karena pengertian hukum tidak menjangkau perjalanan dan pengalaman viktimisasi dari istri pelaku kejahatan terorisme.
Posisi rentan wanita yang terlibat dalam terorisme hakikatnya adalah korban. Konsep kekeliruan yang dibangun dalam hubungan suami istri hendaknya diluruskan. Harapannya, penanganan terhadap perempuan lebih pada menggunakan konsep korban bukan pelaku.
”Korban terorisme bisa jadi berasal dari orang-orang yang sangat dekat dengan pelaku teror, yaitu istri dan anak-anak para pelaku kejahatan terorisme,” katanya.
Sementara itu, Didik menyebutkan, penangkapan pelaku terorisme yang melibatkan perempuan memerlukan penanganan khusus. Pendekatan itu dilakukan secara hati-hati, khususnya menarik perempuan agar keluar dari pusaran terorisme terlebih dahulu.
”Tidak serta-merta ditangkap, ada beberapa aspek yang dipertimbangkan, misalnya psikologis mereka dan anak-anak yang ditinggalkan,” ujarnya. (MELATI MEWANGI)