Filsuf sekaligus politisi dari Firenze, Italia, Niccolo Machiavelli (1469-1527), yang terkenal dengan tulisannya, The Prince, bacaan klasik soal riil politik, pernah menuturkan bahwa realitas politik tak jauh dari merebut atau mempertahankan kekuasaan.
Di satu sisi hal ini menemui kebenarannya dalam konteks relasi kepala daerah dan rakyatnya yang terlihat dari banyaknya kepala daerah terjerat korupsi. Namun, di sisi lain relasi ini tak selalu dimaknai seperti itu. Ada pula pemimpin daerah yang memperbaiki pelayanan publik dan menghasilkan kebijakan yang bisa membuat warganya merasa disentuh, lalu merasa bangga menjadi warga daerah tersebut.
Pekan lalu, harian Kompas menggelar penganugerahan Indeks Kota Cerdas Indonesia 2018. Ada 12 kepala daerah yang diberi penghargaan karena menduduki peringkat tiga besar di tiap kategori, yakni kota kecil, kota sedang, kota besar, dan kota metropolitan.
Dalam kesempatan itu, Kompas sempat berbincang dengan beberapa kepala daerah untuk mencari jawaban atas satu pertanyaan sederhana; mengapa ada kepala daerah yang bisa membangun daerahnya, tetapi ada yang tak berhasil?
Ada begitu banyak hal yang menjawab pertanyaan itu, seperti sudah diutarakan lewat beberapa kajian politik. Sebagian dipengaruhi faktor eksternal seperti beban biaya politik elektoral, relasi dengan legislatif, dan relasi eksekutif dengan masyarakat. Namun, ada faktor internal yang menarik untuk diulik dari para kepala daerah itu, yakni faktor kepemimpinan kepala daerah yang bersedia melayani masyarakat.
Wali Kota Padang Panjang, Sumatera Barat, Fadly Amran, misalnya, menuturkan, ujung tombak perubahan ada pada kepala daerah. Karena itu, untuk menjadi wali kota, pemerintah atau pemimpin sekarang itu, menurut dia, perlu komitmen, pengorbanan, dan integritas.
”Pemimpin hadir untuk berkorban, mengabdi kepada masyarakat. Itu yang utama. Kalau niatnya sudah salah, untuk kongkalikong atau menyenangkan beberapa pihak, mengembalikan modal kampanye, itu, kan, sudah salah. Itu yang membuat visi antar-kepala daerah berbeda,” kata Amran.
Pentingnya komitmen
Wali Kota Surabaya, Jawa Timur, Tri Rismaharini menjadi sosok yang dianggap berhasil mengubah wajah Kota Surabaya menjadi jauh lebih baik. Salah satu kunci sukses Risma ialah mencurahkan perhatian pada pelayanan publik, tata kota, dan pengembangan pembangunan.
Keberpihakan kebijakan kepada rakyat juga menjadi hal yang penting. Misalnya, Risma fokus membangun jalan baru nontol untuk mengurai kemacetan. Jalan nontol dipilih agar seluruh elemen masyarakat bisa menikmati jalan itu. Bagi dia, jalan adalah akses ekonomi untuk keadilan, bukan hanya milik mereka yang bisa membayar.
”Biar saja dibilang sok sosialis. Yang penting masyarakat saya sejahtera,” katanya.
Keberpihakan kepada rakyat juga perlu diikuti dengan kemauan untuk belajar dari daerah lain. Wali Kota Manado, Sulawesi Utara, Vicky Lumentut menuturkan, sejak 2017, ia membangun sistem pelayanan terpadu Manado yang disebut sistem Cerdas Command Center.
Melalui sistem itu, pemerintah dapat terus memonitor situasi kota dan merespons keluhan warga dengan cepat. Namun, ide itu tidak tiba-tiba muncul. Vicky mengadopsi beberapa inovasi dari daerah yang dianggap lebih maju, seperti Surabaya, Yogyakarta, Jakarta, dan Bandung.
Dia juga menuturkan, keberhasilan kepala daerah bisa berbeda-beda karena komitmen mereka masing-masing. Masih cukup banyak kepala daerah yang terjebak kepentingan pribadi sehingga terjerat korupsi. ”Kadang masih ada juga yang terjebak dengan diskresinya sendiri. Padahal, kalau aturan ditaati dan komitmen bersih, keberhasilan itu bisa tercapai,” katanya.
Kebaikan bersama
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng sependapat bahwa komitmen kepala daerah sangat dibutuhkan dalam proses pembangunan daerah. Mereka dituntut memiliki solusi yang matang agar kelak tidak kelabakan menghadapi pertumbuhan penduduk yang sangat pesat. Atau paling tidak ada keinginan belajar dari kota-kota lain.
”Kalau pemimpin sudah punya komitmen, paling tidak 50 persen proses belajar bisa terjadi. Tetapi, jarang pemerintah daerah mau belajar, egonya tinggi. Padahal, perubahan itu harus diawali dari kepala daerahnya. Sulit jalan kalau tidak ada komitmen,” ujar Robert.
Tentunya, lanjut Robert, komitmen itu tidak hanya berhenti pada kepala daerah, tetapi juga harus diikuti oleh birokrat-birokrat menengah yang kreatif dan inovatif. Ini penting dilakukan agar pembangunan kota dan pelayanan publik yang sudah bagus tidak kemudian kembali mundur setelah kepala daerah berkomitmen tinggi itu habis masa jabatannya.
Namun, untuk menuju ke sana, Robert mengingatkan ada tantangan besar yang menghadang, yakni budaya korupsi yang masih kental di pemerintah daerah. Karena itu, integritas moral harus tetap dijaga. ”Inovasi apa pun akan kemakan kalau sudah ada korupsi, seperti ada noda hitam. Jadi yang timbul adalah ketidapercayaan publik,” kata Robert.
Alhasil, komitmen itu memang harus dimulai. Tokoh politik harus sadar bahwa kehadiran politik di masyarakat sejatinya untuk kesejahteraan umum (bonum commune). Sebab, mereka mengisi jabatan publik itu karena suara rakyat. (BOW/NIA/TAN)