JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa tidak ada kepentingan politik di balik pembentukan tim gabungan pencari fakta kasus teror terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan. Pembentukan tim tersebut didasari oleh adanya rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.
Setelah hampir dua tahun kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan, tim gabungan pencari fakta (TGPF) untuk kasus Novel dibentuk dengan melibatkan 65 orang dari berbagai unsur yang akan bekerja 8 Januari-7 Juli 2019.
”Itu rekomendasi bukan dari kami. Itu rekomendasi dari Komnas HAM,” kata Presiden Jokowi seusai meninjau pelayanan perizinan terintegrasi secara daring di Kantor Badan Koordinasi Penanaman Modal, Jakarta, Senin (14/1/2019).
”Itu rekomendasi bukan dari kami. Itu rekomendasi dari Komnas HAM"
Presiden menyampaikan, rekomendasi pembentukan TGPF Novel diputuskan oleh Komnas HAM pada 21 Desember 2019. Oleh karena itu, Kepolisian RI (Polri) memutuskan membentuk TGPF yang terdiri dari perwakilan KPK, Polri, dan para pakar.
”Kalau saya urusannya mengawasi, memonitor agar kasusnya segera selesai diusut,” tuturnya.
Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Muhammad Iqbal menyatakan, pengungkapan kasus penyerangan yang dialami Novel terus dilakukan oleh Polri serta tidak jalan di tempat. ”Sampai saat ini ratusan petunjuk sudah kami periksa saat penyelidikan yang lalu,” katanya.
Menurut Iqbal, setiap kasus memiliki karakteristik yang berbeda. Ada kasus yang memang dapat diselesaikan secara cepat, tetapi ada pula beberapa kasus yang pengungkapannya membutuhkan waktu lama.
Iqbal mengatakan, kepolisian tak memiliki kepentingan menunda penuntasan kasus tersebut. ”Tujuan kami hanya satu, yaitu meneruskan proses penyelidikan hingga tuntas,” ucapnya.
Auktor intelektualis
Komisioner Komnas HAM, Mohammad Choirul Anam, mengingatkan, tim gabungan kasus Novel tidak hanya bertugas mengungkap pelaku penyerangan di lapangan, tetapi juga mengungkap auktor intelektualis di balik penyerangan terhadap Novel.
”Tim gabungan harus mampu menjawab keraguan publik atas independensi, akuntabilitas, dan kecepatan kerja polisi mengungkap kasus itu,” kata Anam.
Anam menyampaikan, kasus Novel bukan tindak pidana biasa, melainkan wujud dari serangan balik koruptor kepada KPK. Oleh karena itu, menurut dia, Presiden perlu mengawasi tim gabungan agar bisa bekerja cepat. (Pandu Wiyoga)