JAKARTA, KOMPAS — Gagasan yang dilontarkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam debat perdana, Kamis (17/1/2019), terkait isu pemberantasan korupsi bukan sesuatu yang baru. Kedua pasangan calon mengemukakan janjinya untuk memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi.
Namun, Juru Bicara KPK Febri Diansyah menyatakan, upaya memperkuat KPK perlu langkah konkret.
”Bagi KPK, jika kita semua sepakat untuk memperkuat pemberantasan korupsi, ada hal konkret yang sangat dibutuhkan segera. Mulai dari penyusunan Undang-Undang Tipikor (Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) yang baru, jaminan penguatan kelembagaan KPK, perlindungan terhadap aparatur penegak hukum, hingga keseriusan instansi-instansi melakukan pencegahan korupsi,” tutur Febri, Minggu (20/1/2019), di Jakarta.
Dalam debat pertama Pemilu Presiden 2019, pasangan calon nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, dan pasangan calon nomor urut 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, mengungkapkan salah satu visi dan misi mereka adalah menguatkan KPK sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Namun, masing-masing memiliki gagasan yang berbeda terkait persoalan korupsi.
Jokowi-Ma’ruf, misalnya, menambahkan perlunya transparansi perekrutan pejabat publik, perbaikan sistem kepartaian, hingga simplifikasi proses birokrasi untuk menutup celah korupsi. Sementara Prabowo-Sandiaga berpandangan peningkatan kesejahteraan para pegawai negeri dan aparatur hukum bisa menghindarkan godaan suap.
Keseriusan pemimpin negara dalam memperkuat pemberantasan korupsi perlu dilakukan melalui hal yang konkret. Selama ini, ide menguatkan KPK selalu muncul. Namun, dalam perjalanannya di tiap era kepemimpinan, revisi UU KPK yang jauh dari semangat memperkokoh KPK selalu muncul.
Menurut Febri, keseriusan pemimpin negara dalam memperkuat pemberantasan korupsi perlu dilakukan melalui hal yang konkret. Selama ini, ide menguatkan KPK selalu muncul. Namun, dalam perjalanannya di tiap era kepemimpinan, revisi UU KPK yang jauh dari semangat memperkokoh KPK selalu muncul. Begitu pula teror terhadap pegawai dan pimpinan KPK bertepatan dengan penanganan perkara korupsi besar.
Dalam tataran regulasi, misalnya, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor dinilai tidak lagi relevan untuk menindak pelaku korupsi dan juga belum mengatur modus kejahatan yang terus berkembang. Selain itu, ada masukan dari UNCAC yang perlu diadopsi, seperti peningkatan harta kekayaan yang tidak wajar, perdagangan pengaruh, suap terhadap pejabat publik asing, dan korupsi di sektor swasta.
”Sangat mendesak membuat UU Tipikor yang baru. Sejumlah perbuatan korupsi tidak tersentuh dengan undang-undang yang ada saat ini sehingga ada ruang kosong dalam regulasi pemberantasan korupsi yang mestinya diseriusi,” kata Febri.
Secara terpisah, pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menyampaikan, perbaikan sistem ini dapat dilakukan dengan menggandeng KPK yang diperkuat.
”Tetapi perbaikan sistem ini tetap merupakan kewajiban setiap instansi. Pemimpin negara bisa memerintahkan pembersihan di kejaksaan, kepolisian, dan kementerian yang berpotensi koruptif dan mengelola dana besar. Kembali lagi, instansi yang bertanggung jawab dan bisa ada sanksi jika tidak dilakukan,” kata Fickar.
Ia pun sepakat pembenahan regulasi juga sudah waktunya dilaksanakan. Dengan aturan yang tidak tumpang tindih dan lebih ringkas, birokrasi menjadi lebih mudah dan informasi lebih mudah diperoleh.
“Kemudahan birokrasi akan memotong ekonomi biaya tinggi. Masyarakat akan terbantu dan tidak akan menjadi korban korupsi ketika berhubungan dengan birokrasi. Demikian juga transparansi akan memberantas kamar-kamar gelap tempat terjadinya korupsi,” ujar Fickar.