Upaya Penuntasan Pelanggaran HAM Berat Harus Kontinyu dan Tidak Bermuatan Politis
Oleh
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Upaya penuntasan kasus penghilangan orang secara paksa yang ditempuh oleh anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Faisol Riza diapresiasi sejumlah pihak. Meski demikian, usaha tersebut seharusnya dilakukan secara konsisten agar tidak menimbulkan asumsi-asumsi berbau politis.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani mengatakan, surat yang diberikan Faisol Riza kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo dan Presiden Joko Widodo adalah langkah positif dalam penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu. Hal itu sudah sepatutnya dilakukan oleh anggota dewan yang bertugas mengawasi kinerja presiden.
Selain itu, posisi Faisol yang juga merupakan korban kasus penghilangan juga memberikannya privilese lebih. Ia dapat menggunakan kekuatan politiknya untuk mengingatkan presiden. Sementara di sisi lain, ia memiliki hak untuk menuntut penyelesaian dilakukan sesegera mungkin.
“Memang ini tugas dari politisi. Faisol juga dapat memanfaatkan kapasitas politiknya untuk melobi anggota DPR lain agar mengikuti langkahnya meminta kejelasan soal kasus pelanggaran HAM berat,” kata Yati saat dihubungi pada Selasa (29/1/2019).
Hal senada diungkapkan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Choirul Anam. Menurutnya, surat yang diberikan Faisol merupakan pengingat bagi presiden dan lembaga terkait untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di masa lalu sesegera mungkin. Hal tersebut merupakan kewajiban presiden agar perkara ini tidak menumpuk dan menjadi beban politik.
Ia mengatakan, setelah lebih dari 20 tahun, seharusnya masalah penghilangan orang secara paksa sudah dapat diselesaikan. Apalagi, saat ini proses pembuktian terhadap sebuah dugaan dipermudah dengan kemajuan teknologi.
“Ada banyak kesaksian yang tersebar di dunia maya soal peristiwa ini. Pihak terkait dapat menggunakannya untuk dijadikan bukti awal,” ujarnya.
Choirul menuturkan, sebaiknya presiden segera menindaklanjuti surat ini dengan tindakan konkrit. Penindakan yang cepat dan efisien menandakan adanya kepatuhan hukum dan komitmen presiden dalam menuntaskan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Salah satu upaya yang perlu dilakukan yakni menjalankan rekomendasi DPR dengan membentuk Pengadilan HAM ad-hoc. Komnas HAM juga bersedia membantu sesuai kapasitasnya apabila dibutuhkan.
Konsisten
Yati juga mengingatkan agar langkah seperti yang dilakukan oleh Faisol jangan hanya dilakukan sesekali. Perlu ada upaya secara konsisten dan berkelanjutan untuk mendesak pihak-pihak terkait agar menyelesaikan kasus pelanggaran HAM.
Ia melanjutkan, kurangnya upaya penuntasan perkara sejenis ini akan menimbulkan rasa sangsi di masyarakat. Mereka akan mempertanyakan motivasi di balik kemunculan desakan-desakan seperti yang telah dilakukan Faisol.
“Apalagi saat ini sedang masa pemilihan umum. Kita tidak bisa menyalahkan masyarakat yang memiliki pemikiran seperti itu. Seharusnya upaya sejenis terus didorong setiap saat agar kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu dapat dituntaskan,” jelas Yati.
Choirul juga menambahkan agar penindakan kasus HAM diperlakukan sebagai upaya penegakan hukum, bukan secara politis. Penindakan yang dipandang secara politis akan memunculkan asumsi-asumsi negatif bahwa penyelesaian kasus HAM dilakukan demi kepentingan politik, bukan murni untuk keadilan.
“Sekarang bolanya ada di tangan presiden. Komnas HAM telah melakukan tugasnya, DPR juga sudah keluarkan rekomendasi. Hanya tinggal dilaksanakan dengan baik oleh presiden,” tuturnya.
Sebelumnya, Kamis (24/1/2019) lalu, anggota DPR dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Faisol Riza melayangkan surat permohonan kepada Ketua DPR Bambang Soesatyo untuk menindaklanjuti kasus penghilangan orang secara paksa yang terjadi antara 1997-1998.
Surat tersebut dilanjutkan dengan surat langsung kepada Presiden Joko Widodo keesokan harinya. Isinya adalah mengingatkan Presiden untuk melaksanakan empat rekomendasi DPR yang telah disepakati dalam Rapat Paripurna DPR, 28 September 2009. Empat rekomendasi tersebut yakni :
Pertama, merekomendasikan Presiden membentuk pengadilan hak asasi manusia ad hoc; kedua, merekomendasikan Presiden serta segenap institusi pemerintah serta pihak terkait untuk segera melakukan pencarian terhadap 13 aktivis yang hilang; ketiga, merekomendasikan Pemerintah untuk merehabilitasi dan memberikan kompensasi kepada keluarga korban yang hilang; dan keempat, merekomendasikan Pemerintah agar segera meratifikasi Konvensi Anti Penghilangan Paksa sebagai bentuk komitmen dan dukungan untuk menghentikan praktik penghilangan paksa di Indonesia.