JAKARTA, KOMPAS – Penerapan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik terus dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi melalui tuntutannya. Sepanjang 2018, ada 36 orang politisi yang terdiri dari kepala daerah dan anggota legislatif daerah dicabut hak politiknya antara 3 tahun hingga 5 tahun karena terbukti melakukan korupsi.
Memasuki 2019, setidaknya ada tiga orang politisi yang ditangani KPK dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak politik. Salah satunya, anggota Komisi XI DPR RI Amin Santono yang divonis pencabutan hak politik selama 3 tahun oleh majelis hakim yang diketuai M Arifin di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Senin (4/2).
Sebelumnya, dua orang kepala daerah yang merupakan hasil operasi tangkap tangan pada 2018 yakni Bupati Bengkulu Selatan Dirwan Mahmud dan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar juga dicabut hak politiknya oleh majelis hakim pengadilan negeri setempat.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah, di Jakarta, Selasa (5/2) menyampaikan, KPK berupaya secara optimal menindak para koruptor. Salah satunya dengan terus menerus memasukkan poin pencabutan hak politik terhadap para politisi yang melakukan korupsi dalam tuntutannya. Harapannya, hakim di pengadilan pun sependapat.
Berdasarkan fakta di lapangan, tidak semua tuntutan jaksa yang memuat pencabutan hak politik dikabulkan. Pada Desember 2018, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung menolak pencabutan hak politik untuk Bupati Bandung Barat Abu Bakar dengan alasan yang bersangkutan sudah menjabat selama dua periode sebagai kepala daerah dan pertimbangan usia yang sudah tidak memungkinkan lagi terjun di dunia politik.
“Pencabutan hak politik ini penting, bahkan KPK berharap ini bisa menjadi standar di seluruh kasus korupsi yang melibatkan aktor politik. Sebab, apa yang dilakukan para politisi ini sudah mencederai kepercayaan publik. Pencabutan hak politik ini bisa melindungi masyarakat ke depannya,” kata Febri.
Melindungi Masyarakat
Secara terpisah, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Wana Alamsyah juga menyatakan pencabutan hak politik ini bisa melindungi masyarakat agar tidak lagi ditawarkan sosok yang pernah terjerat korupsi dalam berbagai pemilihan. Seperti diketahui, Komisi Pemilihan Umum telah mengumumkan sebanyak 49 nama calon anggota legislatif yang pernah menjadi narapidana korupsi pada akhir Januari.
Bukan tanpa alasan, sejumlah kejadian membuktikan bekas narapidana korupsi yang tak dicabut hak politiknya kembali mencalonkan diri. Bahkan beberapa di antaranya berhasil terpilih kembali seperti Elly Engelbert Lasut sebagai Bupati Talaud dan Mochamad Basuki sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Timur.
Namun setelah terpilih kembali, Basuki justru kembali masuk penjara karena korupsi pada 2017 lalu. Ada juga Bupati Mesuji Khamami yang belum lama ini ditangkap KPK, pernah berstatus tersangka dalam tindak pidana pemilihan umum yang salah satunya terkait dengan bagi-bagi hadiah.
Upaya pencabutan hak politik pun juga diharapkan optimal. Berdasarkan data yang dimiliki ICW, hanya 32 kepala daerah yang dituntut pencabutan hak politik oleh KPK sepanjang 2004-2018. Total kepala daerah yang ditangani KPK selama 14 tahun sendiri mencapai 106 kepala daerah. Dari 32 kepala daerah tersebut, sebanyak 26 kepala daerah yang dikabulkan pencabutan hak politiknya.
“Dengan dicabut hak politiknya, para kepala daerah ini dan juga politisi yang pernah menjadi aktor korupsi tidak bisa lagi menjadi penyelenggara negara. Hakim pun sebenarnya bisa saja langsung memutus meski tidak masuk dalam poin tuntutan jaksa,” ujar Wana.