Pada mulanya relawan adalah sukarelawan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring, kata itu bermakna orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela. Dengan kata lain, tidak diwajibkan dan juga tidak ada paksaan untuk melakukan sesuatu.
Kata ini banyak dipergunakan dalam bidang sosial. Salah satunya kerap dipakai saat bencana alam. Belakangan, setidaknya sejak Pemilu 2004, kata ”relawan” mulai sering dipergunakan dalam kancah politik praktis.
Kata ini terkadang dipergunakan untuk mengidentifikasi kelompok pendukung dari sejumlah entitas masyarakat yang bukan termasuk dalam struktur resmi partai politik. Pergeseran makna terjadi perlahan-lahan.
Pakar linguistik Pusat Penelitian Masyarakat dan Budaya Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fanny Henry Tondo, Rabu (6/2/2019), di Jakarta, mengatakan, dalam perubahan semantik, ada dua hal yang terjadi. Pertama, pergeseran makna. Kedua, perubahan makna.
Pergeseran makna terjadi karena adanya pergantian rujukan atau acuan. Dalam hal ini contohnya bisa berupa sebagian kata sama di sebagian daerah yang dapat bermakna beda, tetapi masih dalam satu medan makna.
”Tetapi, kalau perubahan itu, (terjadi) perubahan referensi atau acuannya,” ujar Henry. Hanya saja, apa yang terjadi saat ini pada kata ”relawan” tatkala dipergunakan dalam konteks politik praktis lebih merupakan pergeseran makna.
Hal ini, tambah Henry, dapat terlihat setelah seseorang atau kelompok relawan itu menuntaskan tugas ”kerelawanan”-nya.
Menurut Henry, jika yang bersangkutan lantas masuk dalam lingkaran kekuasaan dari pihak-pihak yang sebelumnya didukung secara sukarela, lantas mereka menempati jabatan tertentu, apalagi tanpa kompetensi sesuai, maka sulit untuk mengatakan tidak terjadi pergeseran makna.
”Apakah motivasi sebelumnya rela membantu tanpa mengharapkan apa-apa, saya tidak tahu juga. Tetapi, mungkin dia enggak mau akui juga,” seloroh Henry.
Menariknya, di sejumlah momen tertentu, kata ”relawan” di Indonesia terkadang ”kembali” lagi pada makna sesungguhnya. Hal ini terutama tatkala bencana alam tengah terjadi.
Namun, menurut Henry, jika kata ”relawan” terus-menerus dan cenderung lebih kerap dilekatkan dengan praktik politik praktis, bukan tidak mungkin suatu hari kelak maknanya akan benar-benar bergeser. Hal ini menyusul sifat bahasa yang berkembang dan tidak berhenti pada status quo.
Henry menyebutkan, penggunaan kata ”relawan” untuk mengidentifikasi kelompok pendukung tertentu dalam sebagian ranah politik praktis dapat disebut sebagai eufimisme. Atau dapat pula diartikan sebagai pengganti ungkapan yang dirasa kasar dengan yang lebih halus. ”Mungkin memang dicari istilah tertentu yang lebih soft,” kata Henry.
Kampanye politik
Adapun pelibatan relawan dalam kampanye politik juga dikenal di belahan dunia lain, seperti di Amerika Serikat. Sharon Kelly, Justin Levitt, dan Amanda Tammen pada 2007 menulis panduan singkat berjudul One State, Two State, Red State, Blue State: A Quick Guide To Working On Political Campaigns, secara tersirat menyampaikan menjadi relawan dalam kampanye politik itu tidak mendapat bayaran. Namun, posisi ini bisa untuk mencari pengalaman. Orang yang sudah punya pengalaman pada kampanye umumnya baru mendapat honor dalam kerja tim kampanye.
Susan N Dreyfus dalam Volunteerism and US Civil Society, yang dipublikasikan di laman daring Stanford Social Innovation Review (29/08/2018), menyebutkan, kerelawanan dalam berbagai bidang, positif bagi demokrasi. Kerelawanan ini menyatukan orang-orang yang berbeda etnis, agama, dan umur dalam satu tujuan bersama. (INGKI RINALDI)