JAKARTA, KOMPAS — Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum kerap salah dimengerti oleh banyak pihak. Di sisi lain, istilah kriminalisasi yang salah kaprah kadung banyak disematkan untuk sejumlah kasus dugaan tindak pidana.
Sebagian di antara hal tersebut mengemuka dalam diskusi hukum dengan tema ”Penegakan Hukum Versus Kriminalisasi”, Jumat (22/2/2019), yang diselenggarakan Barisan Advokat Indonesia (Badi) di Jakarta. Hadir dalam diskusi tersebut Kepala Bagian Temuan dan Laporan Pelanggaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Yusti Erlina; pakar hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad; Heru Saputra yang mewakili Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) tindak pidana pemilu dari unsur kejaksaan; dan Ketua Presidium Badi, Andi Syafrani.
Erlina dalam paparannya mengatakan, ketidakpahaman terhadap isi dan norma hukum dalam UU No 7/2017 sering kali terjadi di kalangan pelapor. Salah satu kasus terbaru tatkala calon presiden Joko Widodo dilaporkan melakukan pelanggaran terhadap Pasal 280 undang-undang tersebut.
Padahal, ujar Erlina, larangan dalam pasal tersebut tidak bisa menjerat peserta pemilu. Menurut dia, pasal tersebut mengatur tentang pelaksana kampanye, peserta kampanye, dan tim kampanye.
Ia menambahkan, kerap kali laporan yang diajukan kepada Bawaslu juga bersifat sumir. Padahal, laporan yang dibuat mesti memenuhi syarat formil materiil.
Hal ini membuat syarat hukum formil menjadi tidak terpenuhi. Akan tetapi, karena perbedaan pemahaman, menurut Erlina, tidak jarang pelapor justru marah-marah karena laporan tersebut tidak bisa diteruskan.
Kelemahan
Namun, di sisi lain, Erlina menyoroti sejumlah kelemahan undang-undang tersebut, di antaranya banyaknya kalimat dalam undang-undang tersebut yang bisa diperdebatkan dan keberadaan ”pasal-pasal karet”.
Menurut Erlina, pihaknya mempersilakan agar kelemahan-kelemahan itu dicatat untuk dilaporkan kepada Bawaslu, kepolisian, atau kejaksaan. Kelak, hasil kajian yang akan dilakukan dilaporkan kepada Komisi II DPR guna dilakukan perbaikan setelah Pemilu 2019 diselenggarakan.
”(Ada) banyak sekali catatan Bawaslu, jaksa, dan polisi. Ini banyak (ketentuan) yang bermasalah, (misalnya) ada norma tidak ada sanksinya,” sebut Erlina.
Hal itu, menurut Erlina, membuat Bawaslu, kepolisian, dan kejaksaan kerap menjadi ”tertuduh” karena menghentikan sejumlah perkara. Padahal, kata Erlina, hal itu menyusul sejumlah ”bolong” dalam undang-undang tersebut.
”(Kami) tidak punya niat menggunakan bolong-bolong (dalam Undang-Undang Pemilu) untuk merugikan atau menguntungkan pasangan calon,” ujar Erlina.
Salah Kaprah
Hal lain yang saat ini juga cenderung sering menjadi salah kaprah di tengah masyarakat terkait penegakan hukum, imbuh Heru, adalah penggunaan istilah kriminalisasi. Istilah tersebut saat ini cenderung lekat ditafsirkan sebagai adanya kondisi pemidanaan terhadap seseorang yang dianggap tidak bersalah.
Padahal, kata Heru, kriminalisasi merupakan tindakan oleh pemerintah dan DPR untuk memasukkan suatu tindakan atau perbuatan yang tadinya tidak tercantum di dalam undang-undang menjadi tercantum ke dalam undang-undang.
”Istilah ini (kriminalisasi) diganti saja dengan rekayasa perkara atau rekayasa kasus,” sebut Heru jika maknanya masih merujuk pada kondisi pemidanaan seseorang yang dianggap tidak bersalah.
Terkait hal tersebut, Andi mengatakan, tema penegakan hukum dalam kaitannya dengan kriminalisasi sebagai definisi pemidanaan sesungguhnya merupakan hal usang. Akan tetapi, hal tersebut cenderung menjadi isu menarik tatkala dilekatkan pada konteks politik seperti terjadi belakangan.
Ia menandai dua hal yang kerap dijadikan tema pembicaraan tentang hal tersebut, yaitu hukum administratif pemilu dan peristiwa hukum yang tidak masuk dalam ranah pemilu, tetapi ditarik menjadi seolah terkait dengan politik.
Sementara Suparji dalam makalahnya membahas topik mengenai penegakan hukum pidana bukan kriminalisasi. Menurut dia, kriminalisasi tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan asas legalitas dan bakal dihadang mekanisme praperadilan.