Pemilu 1997 menjadi pemilu terakhir era Orde Baru sebelum Indonesia memasuki masa reformasi. Meski pemilu berjalan lancar dan Golkar menjadi pemenang, berbagai aksi kekerasan mengiringi pelaksanaan pemilu.
Desakan adanya demokratisasi di Indonesia sudah disuarakan berbagai pihak beberapa tahun sebelum Pemilu 1997. Publik semakin jenuh dengan kuatnya cengkeraman pemerintah Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa terjadi silih berganti menyuarakan dihapuskannya KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme), yang diarahkan ke keluarga Presiden Soeharto.
Dua tahun jelang pemilu, pemerintah berupaya menurunkan tensi politik dengan mengeluarkan Undang-Undang No 5 Tahun 1995 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota Lembaga Legislatif yang mengatur pengurangan jumlah kursi ABRI di DPR dari 100 menjadi 75.
Di sisi regulasi pemilu, banyak peraturan mengenai kampanye pemilu yang sengaja dibuat pemerintah untuk ”membonsai” pengaruh partai politik. Salah satunya mengenai penggunaan alat peraga yang harus diberitahukan dulu kepada kepala kepolisian setempat, serta pencatatan kendaraan bermotor (Kompas 11/3/97).
Dengan konteks dan lanskap politik saat itu, perolehan suara Golkar tetap naik 6,41 persen dibandingkan Pemilu 1992. Dengan raihan 74,51 persen suara, Golkar mendapat 325 kursi DPR. Kemenangan Golkar sangat ekstensif. Perolehan suara Golkar di ujung era pemerintahan Orde Baru ini memang melambung.
Terpaut jauh di peringkat kedua, PPP memperoleh 22,43 persen suara dan mendapat 89 kursi di DPR. Di sisi lain, perolehan suara PDI terpuruk pada Pemilu 1997. Jika pada Pemilu 1992 PDI meraih 14,89 persen suara, pada Pemilu 1997 PDI hanya mampu meraih 3,06 persen dengan 11 kursi.
Merosotnya perolehan suara PDI merupakan dampak dari konflik kepengurusan internal, campur tangan pemerintah, sekaligus instruksi Megawati Soekarnoputri agar PDI pro-Mega tidak ikut kampanye atas nama PDI. Hal itu dilakukan Megawati untuk menghindari kemungkinan kekerasan terhadap kader partai banteng akibat provokasi yang disengaja.
PDI terbagi dua antara pendukung Megawati dan Soerjadi. Pada Kongres Luar Biasa PDI di Surabaya, Jawa Timur, Megawati Soekarnoputri terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum. Namun, kekhawatiran akan membesarnya partai banteng ini membuat Megawati disingkirkan diam-diam.
Pemerintah mendukung Soerjadi kembali memimpin pada Kongres PDI Medan tahun 1996. Di sisi lain, Megawati tetap menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum DPP PDI 1993-1998 yang sah serta didukung rakyat.
Keriuhan Pemilu 1997 hanya berlangsung sesaat. Indonesia lantas diterpa krisis moneter dan ekonomi. Orde Baru pun akhirnya usai, yang ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto yang telah memimpin selama 32 tahun. Indonesia memasuki masa reformasi. (Ida Ayu Grhamtika Saitya/Litbang Kompas)