JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemilihan Umum mempertimbangkan untuk menjadi pihak terkait dalam uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Langkah itu akan ditempuh jika materi uji materi sesuai dengan pendapat KPU.
”Saya lihat dulu. Kalau materi (tentang) uji materi sama dengan apa yang menjadi pikiran kami, harapan kami, maka KPU sangat mungkin akan menjadi pihak terkait,” kata Ketua KPU Arief Budiman, Jumat (1/3/2019), di Jakarta.
Pada 27 Februari 2019, dua mahasiswa, yakni Joni Iskandar dan Roni Alfiansyah Ritonga, menguji Pasal 210 Ayat (1), (2), dan (3) serta Pasal 344 Ayat (2) UU Pemilu. Ketentuan-ketentuan itu berpotensi membuat kedua pemohon uji materi tidak dapat menggunakan hak pilih secara penuh sebab tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap tempat pemungutan suara daerah asal sesuai dengan alamat KTP elektronik dan tidak bisa mengurus pindah pemilih dan kemudian dimasukkan ke dalam daftar pemilih tambahan (DPTb), kehabisan surat suara bagi pemohon yang masuk kategori DPTb, tidak dapat memberikan suara untuk semua jenis pemilihan karena pindah memilih antarprovinsi, dan terganggunya penyelenggaraan pemilu yang berkualitas.
Sebelumnya, KPU mendapatkan laporan dari KPU daerah bahwa terjadi penumpukan jumlah pemilih tambahan DPTb di sejumlah daerah. Dikhawatirkan surat suara cadangan di TPS terkait tidak mencukupi untuk pemilih DPTb.
Regulasi
Khusus mengenai regulasi, yakni UU No 7/2017, Arief menyoroti sejumlah kelemahan yang ada di dalamnya. Ia menandaskan, sekalipun sempat memercayai bahwa undang-undang itu merupakan produk yang baik dan sempurna, tetapi semakin lama makin terlihat sejumlah kekurangannya.
”Tapi, semakin tahun makin kelihatan banyak pasal yang sulit diimplementasikan. Banyak pasal (saling) bertentangan,” ujar Arief.
Ia mencontohkan, hal itu misalnya amanah untuk melayani DPTb. Akan tetapi, di saat bersamaan, KPU tidak diberi ruang untuk melayani kebutuhan itu.
Ini terjadi tatkala ada lonjakan jumlah DPTb menyusul digunakannnya layanan pindah memilih oleh sebagian pemilik hak pilih. TPS tujuan diperkirakan tidak akan bisa menangani lonjakan jumlah pemilih itu mengingat keterbatasan surat suara.
Amanah dalam undang-undang menyebutkan surat suara cadangan hanya bisa dicetak 2 persen dari total DPT. Karena itulah, diperlukan upaya hukum seperti uji materi lewat Mahkamah Konstitusi, penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu), atau penerbitan peraturan KPU (PKPU).
Arief mengatakan, karena perppu merupakan domain presiden, hal itu tidak bisa ditanyakan kepada KPU. Adapun uji materi, apakah akan melakukannya atau tidak, KPU akan mempertimbangkan hal itu. Sementara mengenai kemungkinan pembuatan PKPU, dinyatakan juga mesti melakukan konsultasi dengan pemerintah dan DPR.
Ia melihat bahwa pasal-pasal yang terkait dengan hal itu sebelumnya dilalui dengan perdebatan panjang. ”Tunggu beberapa hari ke depan, (KPU) akan ambil sikap,” ujar Arief.