JAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap Bupati Talaud Sri Wahyumi Maria Manalip terkait penerimaan fee sejumlah proyek. Lemahnya sistem pengawasan mengakibatkan korupsi di daerah terus berulang. Sinergi antar lembaga untuk memperkuat pengawasan pasca otonomi daerah dan penguatan pencegahan diperlukan untuk membenahi mentalitas penyelenggara negara, terutama kepala daerah agar tidak menyalahgunakan jabatannya untuk memperkaya diri.
KPK menangkap Sri Wahyumi pada Selasa (30/4/2019) di ruang kerjanya. Wahyumi menjadi perempuan ke-92 yang menyandang status tersangka KPK atas permintaan sejumlah barang mewah yang nilainya mencapai Rp 513,8 juta dari seorang pengusaha lokal Bernard Hanafi Kalalo.
“Tim KPK mendapatkan informasi ada permintaan fee 10 persen dari Bupati melalui BNL (Benhur Lalenoh-Tim sukses Bupati) kepada kontraktor untuk mendapatkan proyek pekerjaan di Kabupaten Talaud. BNL menawarkan kepada BHK proyek yang salah satunya revitalisasi pasar. Lalu sebagian fee 10 persen diminta diberikan dalam bentuk barang mewah,” ujar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan saat jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Selasa (30/4/2019).
Adapun proyek yang dimaksud diduga ada 7 paket, tapi yang ditemukan tim KPK saat ini adalah proyek revitalisasi Pasar Lirung dan revitalisasi Pasar Beo yang nilai proyeknya mencapai Rp 5,4 miliar. Sedangkan, barang mewah yang dimaksud berupa dua tas mewah merk Channel dan Balenciaga yang harganya mencapai Rp 130 juta. Lalu sebuah jam tangan Rolex seharga Rp 224,5 juta, anting dan cincin berlian seharga Rp 109 juta, serta uang tunai Rp 50 juta.
“Awalnya, ada pembicaraan permintaan tas bermerk Hermes tapi Bupati tidak mau tas yang dibeli sama dengan tas yang sudah dimiliki oleh seorang pejabat perempuan lain di sana. Kami ingatkan lagi untuk membiasakan hidup sederhana. Gaya hidup dan kebiasaan menggunakan barang mahal yang mendorong keserakahan tidak sejalan dengan upaya pencegahan korupsi,” tutur Basaria.
Sejumlah masalah
Secara terpisah, Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Akmal Malik menyampaikan, Wahyumi kerap melanggar aturan. Setidaknya, ada sejumlah masalah yang pernah membelit kader partai Hati Nurani Rakyat ini. Pertama, ia dinonaktifkan dari jabatannya oleh Mendagri Tjahjo Kumolo selama Januari-April 2018 karena pergi ke Amerika Serikat tanpa izin gubernur.
Kedua, Wahyumi pernah memutasi 305 aparatur sipil negara di Pemerintah Kabupaten Talaud seusai penyelenggaraan Pilkada 2018 yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN. Pada 2015, istri dari hakim tinggi Pengadilan Tinggi Manado ini juga pernah ditegur gubernur karena menjalankan APBD tidak sesuai dengan yang dikonsultasikan ke Tim Anggaran Pemerintah Daerah Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara.
Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Hadi Prabowo dalam disertasinya berjudul ”Pengaruh Implementasi Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengawasan terhadap Efektivitas Pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia” menyampaikan pembinaan dan pengawasan oleh pemerintah pusat belum optimal.
”Di dalam pengawasan dan pembinaan, yang dilakukan pemerintah pusat kepada daerah kurang komprehensif dan tak terintegrasi sehingga muncul penyimpangan dan penyalahgunaan di berbagai tempat. Keberadaan aplikasi juga percuma jika tak ada transparansi dan sumber daya manusianya tak kompeten. Tetap akan terbuka peluang korupsi,” ujar Hadi.
Oleh karena itu, perlu ada pembenahan yang komprehensif dalam tata kelola penyelenggaraan otonomi daerah. Perekrutan tataran pejabat di daerah harus berdasarkan kompetensi dan tanpa biaya politik yang besar. Sebab, lanjutnya, hal tersebut berpotensi melahirkan benih korupsi di daerah. Selain itu, peningkatan kapasitas sumber daya aparatur juga menjadi hal yang penting melalui bimbingan teknis dan manajemen talenta.
Keserahakan
Secara terpisah, Dosen Hukum Pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, faktor keserakahan tak bisa dilepaskan dari kecenderungan para penyelenggara negara melakukan korupsi. Pada kasus Wahyumi, harta kekayaan yang bersangkutan mengacu pada laporan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN) yang dilaporkan pada 16 Januari 2018 tercatat Rp 2,24 miliar.
Akan tetapi, Wahyumi tetap mencari upeti untuk memenuhi hasratnya memiliki barang mewah. Hal serupa dilakukan Bupati Kutai Kartangera Rita Widyasari yang dijerat juga dengan tindak pidana pencucian uang hingga Rp 436 miliar. Rita diketahui memiliki 36 tas mewah dari berbagai macam merk seperti Hermes, Channel, Bvlgari, hingga Prada. Selain itu, ada juga 19 pasang sepatu merk mahal yang disita KPK.
Serupa dengan Gubernur Jambi Zumi Zola yang menerima gratifikasi Rp 44 miliar. Dari uang yang diperolehnya itu, Zumi membelanjakannya untuk koleksi action figure yang total harganya mencapai Rp 42 juta. Kemudian, membiayai perjalanan keluarganya ke Amerika Serikat dan ibadah umrah. Bahkan digunakan untuk membeli pakaian dan aksesoris mewah.