Ketua KPU Arief Budiman Menjawab Sorotan Masyarakat tentang Pemilu
Tidak dimungkiri Pemilihan Umum 2019 menjadi tonggak penting sejarah demokrasi Indonesia. Tidak mudah menggelar pemilihan presiden-wakil presiden bersamaan dengan pemilihan anggota parlemen dan legislator daerah. Lebih dari 800.000 tempat pemungutan suara disiapkan dan digawangi oleh 7,2 juta petugas penyelenggara pemilu.
Secara umum, pemilu yang disebut sebagai pemilu paling kompleks di dunia itu berjalan dengan baik dan damai; bahkan tingkat partisipasi publik pun diperkirakan menjadi yang tertinggi sejak 15 tahun terakhir, yaitu 81 persen, menurut Litbang Kompas.
Di luar pencapaian itu, ada sejumlah hal yang menjadi catatan penting. Beberapa di antaranya adalah manajemen logistik yang menyebabkan beberapa daerah terlambat menggelar pemungutan suara, hingga gugurnya ratusan petugas penyelenggara pemilu yang diduga karena kelelahan.
Pada Jumat (3/5/2019), Kompas berkesempatan membicarakan berbagai hal ini dengan Ketua Komisi Pemilihan Umum Arief Budiman di Kantor KPU, Jakarta. Dalam situasi yang santai, Arief menanggapi berbagai sorotan masyarakat terhadap proses penyelenggaraan Pemilu 2019. Adapun pertemuan itu kami sarikan dalam bentuk tanya jawab berikut ini.
Tanya: Apa yang menjadi tantangan besar dalam pemilu kali ini?
Jawab: Sebetulnya pemilu bukan barang baru bagi masyarakat Indonesia. Namun, apa yang kemudian menjadi hal baru yang dirasakan baik oleh pemilih, maupun juga penyelenggara pemilu? Bagi saya, ini sebetulnya soal pada teknis; soal pemilih harus menggunakan hak pilih pada lima jenis surat suara. Hasilnya pun KPU harus merekap lebih banyak hasil pemilu. Kalau sebelumnya pilpres dan pileg itu dipisah, sekarang jadi satu.
Akan tetapi, memang hiruk-pikuk Pemilu 2019 itu terasa berbeda karena kompetisinya terasa makin ketat.
Ini mungkin karena penggunaan media sosial meningkat pesat; baik untuk hal yang bertujuan baik maupun yang bertujuan buruk. Jadi, Anda lihat, media sosial digunakan penyelenggara pemilu untuk menyosialisasikan pemlu. Itu, kan, tujuan baik. Akan tetapi, ada juga media sosial digunakan untuk hal yang buruk; menyebar hoaks, fitnah.
Baca juga: Pemilu 2019, Ujian Terakhir Demokrasi Indonesia?
Itu dua hal utama yang mendominasi. Pertama, jumlah pemilunya bertambah menjadi lima surat suara dan penggunaan teknologi informasi, baik dalam media sosial maupun teknologi informasi dalam pemilu.
Tanya: Bagaimana mempercepat kinerja dan membuka akses informasi ke publik?
Jawab: KPU di hampir semua tahapannya menggunakan dukungan teknologi informasi, mulai dari KPU menyusun regulasi hingga penetapan partai politik peserta pemilu.
Semua orang mengetahui secara detail mengenai partai dan caleg yang didukungnya. Di situs KPU, masyarakat dapat mengetahui semua struktur pengurus partai dengan cukup klik, di mana pun Anda berada. KPU juga menyediakan akses data pemilih, dapat mengajukan koreksi melalui klik juga. Semua terbuka. Kampanye juga disosialisasikan lewat media sosial, termasuk bagian yang ditunggu, penghitungan rekapitulasi dan penetapan hasil pemilu.
Kami ingin melakukannya secara terbuka dan transparan. Oleh karena itu, masyarakat dengan mudah mengakses data (rekapitulasi). Apabila terjadi kesalahan input data, orang bisa menyebut dengan detail lokasi kesalahan tersebut. Dan saya bersyukur, karena dengan begini, partisipasi publik meningkat pesat. Bukan hanya partisipasi ketika menggunakan hak pilih, melainkan juga partisipasi ikut mengawal jalannya pemilu, ikut mengamati.
Tanya: Ada laporan mengenai kesalahan memasukkan data (input) pada Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU, bagaimana tanggapan Anda?
Jawab: Ada yang salah memahami persoalan salah input. Ada yang menuduh ini human order, ini tidak bener. Ini murni human error.
Selain itu juga tuduhan yang muncul bahwa kesalahan input terjadi hingga sekian ribu. Perlu diingat, kesalahan yang terjadi di dalam formulir C1 (sertifikat hasil penghitungan tingkat TPS) itu tidak bisa dikoreksi melalui Situng. C1 yang salah, diperbaiki dalam proses rapat pleno menggunakan berita acara di tingkat kecamatan.
KPU, di dalam Situng, menampilkan data apa adanya, apa yang ada dari TPS. Dan ini kami tampilkan dalam dua metode, yaitu gambar scan C1, juga tampilan dalam bentuk tabulasi data. Semua angka yang ada scan C1 dimasukkan dalam entri data. Entri data inilah yang tidak boleh berbeda dengan C1.
Akan tetapi, kesalahan di C1, seperti jumlah pemilih dan jumlah surat suara yang tidak sesuai itu, tidak boleh dikoreksi Situng.
Situng harus menampilkan apa adanya. Sebab ini adalah sarana informasi bagi masyarakat bahwa ini C1 yang apa adanya. Kalau ada C1 yang salah, (peserta pemilu) dapat memberi tahu saksi, Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum), dan juga kepada masyarakat supaya di rapat pleno tingkat lebih tinggi koreksi bisa dilakukan.
Tanya: Kesalahan input yang terjadi itu terjadi berkali-kali? Bagaimana Anda menjelaskan ini?
Jawab: Data sampai hari ini ada 207 kesalahan, yang dilaporkan masyarakat itu hanya 57. Akan tetapi, KPU mencermati terus. Dari 207, sudah diperbaiki 195, jadi tinggal 12 data saja sampai (Jumat siang) ini. Jadi bandingkan dengan jumlah TPS yang sudah masuk Situng. Itu sekarang sampai sekitar 560.000 TPS.
Tanya: Apakah ini bisa menjadi dasar untuk menghentikan Situng?
Jawab: Tidak. KPU ingin pemilu ini tranparan, maka kami tampilkan kepada publik. Justru dengan ini ditampilkan, banyak pihak menemukan kesalahannya. Kalau data Situng tidak sama dengan C1, akan dikoreksi supaya sama dengan C1. Akan tetapi, kalau (pengisian) C1-nya yang salah, itu harus lewat rapat pleno terbuka.
Tanya: Kenapa Situng lambat?
Jawab: Sebetulnya target Situng adalah selesai dalam 5 hari untuk satu jenis pemilu, pilpres selesai dalam lima hari, pileg DPR RI dalam lima hari, dan seterusnya. Akan tetapi, ternyata banyak kendala. Di awal, Situng lambat karena sistem kita juga diganggu oleh banyak orang sehingga bekerjanya agak melambat.
Kedua, teman-teman di daerah itu sebagian network-nya tidak bisa cepat. Ketiga, ya, ternyata memang pekerjaan yang banyak. Operator dan verifikator di kabupaten dan kota itu semakin berhati-hati setelah ditemukan adanya salah input. Hal ini akibatnya mereka jauh lebih berhati-hati dan jadinya lebih lambat lagi.
Tanya: Kenapa begitu banyak orang yang meninggal dan sakit?
Jawab: Tidak pernah ada yang memprediksi jumlah petugas yang meninggal. Petugas yang meninggal sama sekali tidak kami harapkan. KPU juga sudah mengantisipasi sejak awal. Ketika undang-undang mengatur jumlah pemilih per TPS adalah sebanyak 500 orang, KPU memperkirakan itu akan membuat proses terlalu panjang dan melelahkan sehingga kami mengurangi dari 500 ke 300. Ini pun ternyata sudah cukup panjang dan melelahkan.
Hingga hari ini (Jumat, 3 Mei 2019) sudah 400 lebih petugas yang meninggal. Kami tidak berani menyimpulkan, tetapi setidaknya proses penyelenggara pemilu bukanlah satu-satunya sebab. Sebab, dilaporkan ada yang punya riwayat sakit jantung dan sudah punya sakit dalam masa kerja. Akan tetapi, biarlah kejadian ini diteliliti dan dicermati, apa penyebab utamanya. Tanpa penelitian yang mendalam, kita tidak bisa mengambil kesimpulan.
Bagi KPU, negara harus punya kepedulian terhadap penyelenggara pemilu yang meninggal dunia. Itulah mengapa KPU memberikan santunan kepada peyelenggara yang meninggal. Bukan dengan maksud untuk menggantikan keberadaan mereka, melainkan untuk menguatkan keluarga yang ditinggalkan.
Tanya: Kalau karena riwayat sakit, berarti kesehatan menjadi syarat penting di pemilu selanjutnya?
Jawab: Memang undang-undang menetapkan batas minimal usianya, tetapi untuk batas maksimal itu tidak dibatasi sehingga ada penyelenggara yang berusia di atas 60 tahun selain juga ada yang masih muda.
Akan tetapi, tidak mudah memang memenuhi kriteria kita. Mencari orang dengan kualifikasi sehat jasmani rohani, bisa baca tulis, dan pendidikan minimal SLTA itu tidak mudah. Kami mencari 7,2 juta orang yang harus dilibatkan dalam pemungutan suara di TPS. Setiap TPS ada tujuh orang anggota KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) dan dua orang anggota Linmas (Perlindungan Masyarakat). Artinya ada sembilan orang yang bertugas. Itu hanya dari struktur KPU, belum lagi dari Bawaslu dan peserta pemilu. Kalau semua terlibat, di tingkat TPS itu ada 15 juta orang dan tidak mudah mencari orang sebayak itu mau terlibat dalam proses penyelenggaraan pemilu.
Tanya: Pemilu kali ini, polarisasi dukungan sangat tajam di dua kubu kontestan capres dan cawapres. Apa yang bisa dilakukan untuk mengurangi ini pada pemilu mendatang?
Jawab: KPU tidak punya kompetensi untuk menjelaskan soal itu. Biarkan ini menjadi domain ahli pemilu, ahli politik.
Baca juga: Indonesia Harus Jadi Lebih Baik Pasca-Pemilu 2019