JAKARTA, KOMPAS – Berbagai instansi yang menangani keamanan maritim harus ditata ulang agar Indonesia bisa efektif mengatasi berbagai permasalahan di wilayah lautnya hingga ke Zona Ekonomi Ekslusif.
“Perlu dibenahi regulasi dan keterpaduan antar instansi,” kata Kepala Badan Keamanan Laut (Kabakamla) Laksamana Madya A Taufiq, Jumat (17/5) saat memberi kuliah umum di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal).
Ia memaparkan, dengan luasnya laut Indonesia, serta padatnya lalu lintas perdagangan, ada dua jenis ancaman yaitu ancaman militer seperti pelanggaran wilayah hingga terorisme hingga ancaman non militer seperti pencurian ikan, penyelundupan hingga pengrusakan lingkungan hidup.
Ia mengatakan, saat ini ada 26 regulasi yang menangani penegakan hukum di laut dan ada 12 instansi yang masing-masing berwenang mengatasi ancaman di laut. Untuk itu, dibutuhkan sebuah undang-undang yang bisa memadukan instansi-instansi tersebut dalam satu komando dan pengendalian.
“Perlu ada penetapan fungsi Bakamla sebagai coast guard yang mencakup tugas keselamatan di laut, keamanan di laut, dan juga sebagai komponen cadangan pertahanan dari aspek maritim,” kata Taufiq.
Hal ini juga digarisbawahi oleh Komandan Seskoal Laksamana Muda Amarulla Octavian. Ia mengatakan, hukum internasional telah memberikan kewenangan kepada coast guard untuk melaksanakan fungsi penegakan hukum. Hal ini tertulis di UNCLOS 1982 yang membedakan penegakan hukum oleh coast guard sementara angkatan laut bertugas untuk penegakan kedaulatan.
“Kapal-kapal dari berbagai institusi itu punya tugas berbeda. Misalnya kapal KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan) punya kewenangan untuk menangkap pencuri ikan di laut hingga ke ZEE. Tapi begitu dia ketemu penyelundup narkoba, itu bukan kewenangannya,” kata Octavian.
Menurut Octavian, semua institusi bisa tergabung dalam coast guard. Di dalam kapal itu, ada aparat-aparat dari berbagai institusi. Menurut Octavian, adanya tumpang tindih kewenangan dan regulasi jangan dilihat dari sisi negatif. Akan tetapi, bagaimana institusi-institusi itu bisa terintegrasi menjadi kekuatan yang kuat.
Taufiq mengatakan, dengan adanya arsitektur keamanan maritim yang benar, akan lebih mudah mengatasi berbagai ancaman di laut. Ia menekankan, laut Indonesia begitu besar sehingga harus ada kerja sama semua pemangku kebijakan. Sebagai contoh, insiden antara kapal perikanan Vietnam dan TNI Angkatan Laut di perairan Natuna terjadi karena belum ada kesepakatan tentang batas ZEE. Ketika insiden tersebut melibatkan kapal militer dan kapal sipil masalahnya jadi lebih kompleks.
“Makanya banyak negara-negara lebih suka pakai coast guard karena tensinya lebih rendah,” kata Taufiq.