Empat Laporan Pelanggaran Ditindaklanjuti
JAKARTA, KOMPAS - Badan Pengawas Pemilu dalam persidangan, Selasa (21/5/2019), memutuskan menerima empat laporan dugaan pelanggaran administrasi pemilihan anggota legislatif pada Pemilu 2019. Laporan tersebut mayoritas terkait dengan perbedaan hasil penghitungan suara.
Dalam sidang yang sama di Jakarta, Bawaslu memutuskan menolak dua permohonan pelanggaran administrasi karena dianggap tidak memenuhi syarat formil dan materiil.
Adapun empat laporan tersebut masing-masing diajukan Jerry AK Sambuaga untuk terlapor KPU Provinsi Sulawesi Utara dan KPU Kabupaten Minahasa Selatan. Selain itu, laporan Yomanius Untung untuk terlapor Ketua dan atau anggota KPU Kabupaten Subang, Jabar. Ada pula laporan Fatahillah Ramli dengan KPU Provinsi NTB sebagai terlapor. Terakhir, laporan Moh Syamsul Arifin untuk terlapor Y Yongkynata.
Laporan-laporan tersebut berisi keberatan mengenai dugaan adanya perbedaan hasil penghitungan suara dengan penyelenggara pemilu. Kuasa hukum Jerry Sambuaga, Oktavianus, mengatakan, laporan dugaan pelanggaran administrasi diajukan karena ada beda penghitungan suara di formulir C1 (tingkat TPS) dan DA1 (catatan rekapitulasi tingkat kecamatan) pemilihan anggota DPR atas nama kliennya.
Laporan dugaan pelanggaran administrasi diajukan karena ada beda penghitungan suara di formulir C1 (tingkat TPS) dan DA1 (catatan rekapitulasi tingkat kecamatan) pemilihan anggota DPR atas nama kliennya.
Menurut kuasa hukum Yomanius Untung dan Fatahillah Ramli, Radiat, laporan dugaan pelanggaran administrasi diajukan menyusul dugaan penggelembungan suara pada kontestasi DPR untuk pelapor atas nama Fatahillah Ramli dan kursi DPRD Jabar atas nama pelapor Yomanius Untung.
Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, jadwal berikutnya bagi laporan yang diterima adalah sidang pemeriksaan dengan agenda pembacaan pokok-pokok laporan dugaan pelanggaran administrasi dan jawaban pihak terlapor.
Catatan Bawaslu
Terkait penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara Pemilu 2019, Selasa dini hari, Bawaslu mencatat ada sejumlah rekomendasi lembaga pengawasan itu yang tidak dijalankan oleh jajaran KPU di tingkat daerah. Dalam rekapitulasi perolehan suara Papua, misalnya, ada rekomendasi pemungutan suara ulang di enam kabupaten/kota yang tidak dilakukan KPU Papua dengan berbagai alasan.
”Papua perlu diperhatikan secara khusus karena dari waktu ke waktu pemilu di daerah ini kerap bermasalah. Kami, antara lain, mencatat tidak adanya formulir DA1 dan DB1 (catatan rekapitulasi di kabupaten) untuk sejumlah daerah di Papua. Kalau tidak ada bukti rekapitulasi, bagaimana bisa dilakukan penyandingan data,” kata Rahmat Bagja, anggota Bawaslu.
Bawaslu juga mempertanyakan mengenai relevansi pemungutan suara dengan sistem noken (perwakilan kepada kepala suku), yang berpotensi mengurangi hak suara rakyat. Bawaslu menyerahkan regulasi mengenai relevansi sistem noken di Papua ini kepada pembentuk undang-undang. Sebanyak 12 kabupaten/kota di Papua masih menjalankan sistem noken untuk menyalurkan hak pilih dalam pemilu.
Selain menyoroti rekapitulasi suara di Papua, dalam penyelenggaraan pemilu kali ini Bawaslu juga menyayangkan kurang optimalnya pencocokan dan penelitian (coklit) data pemilih di dalam maupun luar negeri. Tingginya pemilih yang termasuk ke dalam kategori daftar pemilih khusus (DPK) mengindikasikan masih banyaknya warga negara yang tidak terdata ke dalam daftar pemilih tetap (DPT). Sebab, mereka yang bisa digolongkan sebagai DPK ialah warga yang memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el), tetapi tidak terdata ke dalam DPT.
Data dari KPU menunjukkan, jumlah DPK untuk pemilu presiden 5.818.565 pemilih. Adapun jumlah DPK untuk pemilu legislatif 5.817.882 pemilih.
“Ke depannya perlu dilakukan pembenahan dalam coklit data pemilih, sehingga lebih banyak pemilih yang bisa terdaftar dalam DPT. Tingginya DPK menunjukkan masih banyak warga yang belum terdaftar dalam DPT, padahal mereka memiliki KTP-el,” kata Bagja.
Pendataan pemilih di luar negeri pun menunjukkan adanya persoalan. Di Kuala Lumpur, misalnya, Bawaslu mendapati ada 500 orang yang beralamat di satu tempat yang sama. Kendati hal itu bsia dijelaskan oleh Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) setempat, tetapi kondisi itu menjadi catatan pentng bagi Bawaslu. Kondisi itu sedikitnya menunjukkan tempat tinggal warga negara Indonesia di luar negeri maupun dalam negeri tidak terdeteksi dengan baik.
“Semua catatan Bawaslu itu perlu menjadi perhatian, sehingga penyelenggaraan pemilu di masa depan bisa lebih baik,” katanya.
Berkaitan dengan penetapan rekapitulasi nasional yang lebih awal satu hari daripada tenggat akhir yang diatur oleh UU Pemilu, menurut Bagja, bukan merupakan suatu pelanggaran. Sebab UU hanya mengatur batas akhir penetapan rekapitulasi perolehan suara nasional, dan tidak melarang penetapan itu dilakukan dalam waktu yang lebih cepat dari batas akhir.
Selasa dini hari, kemarin, pukul 01.46, KPU menetapkan rekapitulasi perolehan suara nasional peserta pemilu. Untuk pilpres, pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin tercatat memeroleh 85.607.362 suara atau 55,50 persen. Adapun pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno memeroleh 68.650.239 suara atau 44,50 persen. Raihan itu diperoleh dari keseluruhan jumlah suara sah 139.971.260, dengan tingkat partisipasi masyarakat pemilih sebesar 81,69 persen.
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, masih ada waktu tiga hari bagi peserta pemilu yang tidak puas dengan hasil rekapitulasi untuk mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi. Karena penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara dilakukan pada 21 Mei 2019, maka ada waktu hingga 24 Mei 2019 bagi peserta pemilu untuk mengajukan sengketa hasil pemilu.
“Jika dalam tiga hari itu tidak ada pengajuan sengketa, KPU bisa menetapkan perolehan kursi dan calon terpilih dalam tiga hari ke depan setelah batas akhir pengajuan sengketa,” katanya.