Pengadaan Kapal Patroli Diduga Rugikan Negara Rp 179 M
Oleh
Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pengadaan kapal patroli dan kapal inspeksi ikan di Direktorat Jenderal Bea Cukai Kementerian Keuangan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan diduga dikorupsi oleh pejabat pembuat komitmen di instansi terkait. Kerugian negara dalam perkara ini disinyalir mencapai Rp 179,28 miliar dari pengadaan sebanyak 20 kapal yang nilai proyeknya mencapai Rp 1,2 triliun.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Saut Situmorang saat jumpa pers di Gedung KPK Jakarta, Selasa (21/5/2019) mengatakan, akibat dari perbuatannya, PPK di Ditjen Bea Cukai Istadi Prahastanto dan PPK di KKP Aris Rustandi ditetapkan sebagai tersangka. Selain Istadi dan Aris, KPK juga menjerat Direktur Utama PT Daya Radar Utama Amir Gunawan dan Ketua Panitia Lelang di Ditjen Bea Cukai Heru Sumarwanto.
“KPK sangat menyesalkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kapal patroli ini. Karena tujuan awalnya diadakannya kapal patroli cepat di Ditjen Bea Cukai adalah untuk mengamankan wilayah Indonesia, seperti menjaga perbatasan serta melindungi masyarakat Indonesia dari penyelundupan dan perdagangan ilegal,” ujar Saut.
KPK sangat menyesalkan adanya dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kapal patroli ini. Karena tujuan awalnya diadakannya kapal patroli cepat di Ditjen Bea Cukai adalah untuk mengamankan wilayah Indonesia, seperti menjaga perbatasan serta melindungi masyarakat Indonesia dari penyelundupan dan perdagangan ilegal
Begitu pula dengan pembangunan Sistem Kapal Inspeksi Perikanan Indonesia (SKIPI) di KKP dilatarbelakangi maraknya praktek illegal fishing yang berdampak hilangnya devisa negara dan rusaknya terumbu karang akibat penggunaan bom, potassium, dan bahan berbahaya Iainnya dalam penangkapan ikan. “Sekali lagi sangat disayangkan kejadian ini,” kata Saut.
Kasus ini bermula ketika Direktorat Penindakan dan Penyidikan Ditjen Bea Cukai berencana mengadakan 16 unit kapal patroli cepat pada tahun anggaran 2013-2015. Dari jumlah tersebut, PT DRU mengerjakan pengadaan untuk sembilan unit kapal. Untuk pengadaan kapal ini, Ditjen Bea Cukai mendapatkan alokasi dana Rp 1,12 triliun.
Pada pengadaan ini, proses lelang diatur dengan menggunakan metode pelelangan terbatas untuk Kapal Patroli Cepat 28 meter dan 60 meter, serta pelelangan umum untuk Kapal Patroli Cepat 38 meter.
“Pada proses pelelangan terbatas ini, IPR diduga telah menentukan perusahaan yang dipanggil. Di pelelangan umum, diduga juga mengarahkan panitia lelang untuk tidak memilih perusahaan tertentu,” kata Saut.
Setelah terpilih dan kapal selesai, Ditjen Bea Cukai melakukan uji coba kecepatan yang hasilnya tidak dapat mencapai kecepatan sesuai ketentuan dan tidak memenuhi sertifikasi seperti yang disyaratkan dalam kontrak. Meski begitu, Ditjen Bea Cukai terap menerima dan menindaklanjuti dengan pembayaran.
Untuk perkara kedua di KKP, berawal dari pembangunan 4 unit kapal 60 meter untuk Sistem Kapal Inspeksi Perikanan lndonesia (SKIPI) pada Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Tahun Anggaran 2012-2016. Melalui proses lelang, Menteri KKP saat itu Sharif Cicip Sutardjo menetapkan PT DRU sebagai pemenang Pekerjaan Pembangunan Kapal SKIPI dengan nilai penawaran Rp 558,5 juta.
Namun pembayaran dilakukan sebesar Rp 744 juta. Padahal, diduga biaya pembangunan 4 unit kapal SKIPI itu hanya Rp 446,2 juta. Selain itu, sebanyak 4 kapal SKIPI tersebut diduga tidak sesuai spesifikasi yaitu kecepatan tidak mencapai syarat yang ditentukan, kekurangan panjang kapal sekitar 26 cm, mark up volume plat baja dan aluminium, serta kekurangan perlengkapan kapal lain.
Dalam perkara ini, KPK telah melakukan penggeledahan di ruang Ditjen Bea Cukai dan kantor PT DRU di Tanjung Priok.
Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan Sumiyati yang hadir dalam jumpa pers menyatakan prihatin dengan kasus ini. Pihaknya menghormati proses hukum yang tengah berjalan. Sumiyati pun menyampaikan akan bertindak tegas terhadap pegawai yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.