JAKARTA, KOMPAS – Batas waktu perbaikan permohonan untuk sengketa hasil pemilu legislatif berakhir 31 Mei 2019. Namun, tidak semua peserta pemilu yang mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu atau PHPU legislatif ke Mahkamah Konstitusi memperbaiki permohonannya sebagaimana dirinci di dalam daftar kekuranglengkapan berkas permohonan.
Hingga Senin (3/6/2019), ada 158 permohonan dari 337 permohonan PHPU yang diterima MK yang belum menyerahkan perbaikan permohonan. Sebelumnya, akhir pekan lalu MK telah menyerahkan akta permohonan belum lengkap (APBL) kepada 319 pemohon PHPU yang dinilai perlu memperbaiki permohonannya.
Ada 158 permohonan dari 337 permohonan PHPU yang diterima MK yang belum menyerahkan perbaikan permohonan
Rincian tentang berkas permohonan yang harus dilengkapi itu disampaikan di dalam daftar kekuranglengkapan berkas permohonan (DKBP), yang juga telah disampaikan kepada masing-masing pemohon, 28 Mei 2019, berbarengan dengan penyerahan APBL. Ketentuan mengenai penyerahan APBL dan DKBP itu diatur di dalam Peraturan MK Nomor 2 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara PHPU Anggota DPR dan DPD.
“Batas akhir perbaikan permohonan ialah 3x24 jam sejak APBL itu diserahkan, 28 Mei 2019. Oleh karenanya paling akhir penyerahan perbaikan permohonan ke MK ialah tanggal 31 Mei,” kata Fajar Laksono Soeroso, Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dalam Negeri MK, di Jakarta.
Terkait masih adanya pemohon yang belum menyerahkan perbaikan permohonan, hal itu akan diserahkan kepada pertimbangan hakim yang memeriksa perkara. Menurut PMK No 2/2018, berkas permohonan yang tidak diperbaiki akan diserahkan kepada hakim sebagaimana berkas permohonan awal. Berkas permohonan yang diperbaiki maupun tidak diperbaiki akan ditampilkan di situs resmi MK sebagai bagian dari transparansi penanganan perkara sengketa pemilu.
Selain tidak semua pemohon memperbaiki permohonannya, ada pula pemohon yang mendaftarkan permohonannya atas nama pribadi, karena ia merupakan calon anggota legislatif. Padahal, sesuai ketentuannya yang menjadi peserta pemilu dan sekaligus pemohon PHPU ialah pasangan calon presiden dan wakil presiden, calon legislatif DPD, dan partai politik (parpol). Bagi caleg DPR atau DPRD yang mengajukan PHPU, ia harus mendaftarkan diri dengan menyertakan surat permohonan atas nama parpol yang ditandatangani oleh ketua umum dan sekretaris jenderal parpol asalnya mencalonkan diri.
Sementara itu, sebagian besar permohonan PHPU legislatif yang diajukan ke MK, menurut kajian Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, menggunakan argumentasi penggelembungan suara. Ketua KoDe Insiatif Veri Junaidi mengatakan, ada 11 isu besar yang dijadikan argumentasi yang digunakan oleh pemohon untuk mengajukan PHPU legislatif.
Isu-isu besar itu antara lain penggelembungan dan pengurangan suara; pelanggaran administrasi; pelanggaran pemilu; kesalahan rekapitulasi; penemuan pemilih yang tidak berhak memilih; kekurangan logistik; politik uang; serta kecurangan yang dinilai TSM atau terstruktur, sistematis, dan masif.
“Kami juga menemukan ada lima permohonan yang diajukan 4x24 jam setelah penetapan rekapitulasi suara oleh KPU, atau melebihi waktu yang ditentukan oleh UU Pemilu. Meski diajukan melebihi waktu yang telah ditentukan, MK tidak boleh menolak permohonan karena terdapat asas dalam peradilan yang melarang hakim menolak suatu perkara,” katanya.