Komisi Pemberantasan Korupsi dikejar tenggat untuk menuntaskan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang terjadi pada 2004.
Oleh
Riana A Ibrahim
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komisi Pemberantasan Korupsi dikejar tenggat untuk menuntaskan perkara korupsi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang terjadi pada 2004. Sesuai Kitab Undang-undang Hukum Pidana, kasus ini memiliki masa kedaluwarsa 18 tahun sejak peristiwa terjadi, artinya perkara melampaui masa penuntutan pidana pada 2022.
Pada Senin (10/6/2019), KPK kembali menetapkan tersangka dalam pengembangan perkara BLBI, yakni pemegang saham Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim. Penetapan tersangka keduanya merupakan pengembangan kasus Syafruddin A Temenggung, mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional, yang ditangani KPK sebelumnya.
Syafruddin telah dijatuhi hukuman 15 tahun penjara oleh pengadilan tingkat banding karena dinilai terbukti bersalah melakukan korupsi dalam pemberian surat keterangan lunas untuk BDNI. Saat ini, perkara tersebut masih dalam tahap kasasi.
Sjamsul dan Itjih sendiri pernah dipanggil untuk pemeriksaan Syafruddin. Begitu pula saat penyelidikan, KPK memberikan kesempatan sebanyak tiga kali pada 2018 kepada Sjamsul dan Itjih untuk hadir dan memberikan keterangan atau bantahan secara proporsional. Akan tetapi, keduanya tidak pernah hadir sama sekali.
Atas penetapan tersangka ini, kuasa hukum Sjamsul, yakni Maqdir Ismail, menilai langkah KPK janggal. Menurut dia, Sjamsul tidak dapat lagi dimintai pertanggungjawaban karena telah menerima surat keterangan lunas pada 2004 dan memperoleh release and discharge yang menyatakan bahwa seluruh kewajiban Sjamsul telah selesai.
Tantangan
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif, di Gedung KPK Jakarta, tak menampik hal ini menjadi tantangan bagi lembaga yang dipimpinnya. Harapannya, perkara ini tidak menjadi tunggakan bagi pimpinan selanjutnya yang akan dimulai akhir 2019.
”KPK sangat berharap yang bersangkutan kooperatif. Kami beri kesempatan dengan berulang kali pemanggilan. Pengumuman kali ini juga merupakan panggilan kepada yang bersangkutan untuk kooperatif,” ujar Laode.
Pada 17 Mei 2019, KPK telah mengirimkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan kepada Sjamsul dan Itjih ke tiga lokasi di Singapura, yakni The Oxley, Cluny Road, dan Head Office of Giti Tire, serta satu lokasi di Indonesia, yakni di kawasan Simprug, Jakarta.
Kendati demikian, KPK juga telah bersiap melanjutkan penuntutan melalui peradilan in absentia apabila keduanya tidak bersedia bekerja sama dengan memenuhi panggilan. Namun, Laode kembali menegaskan bahwa hal itu menjadi pilihan yang terakhir.
Praktik penuntutan secara in absentia telah dilakukan Kejaksaan Agung pada 2002 untuk kasus korupsi BLBI juga. Saat itu, yang diperiksa dan diputus secara in absentia adalah terdakwa dari Bank Harapan Sentosa Hendra Raharja, Eko Adi Putranto dan Sherly Konjogian. Kemudian dari Bank Surya, yakni Bambang Sutrisno dan Adrian Kiki Ariawan. Ada pula dari Bank Servitia, yaitu David Nusa Wijaya. Kejaksaan juga menangani kasus korupsi dan pencucian uang secara in absentia yang melibatkan bekas pemilik Bank Century Hesyam Alwarraq dan Rafat Ali Rizvi.
”Kerja sama dengan Singapura berjalan lancar. Upaya yang dilakukan KPK juga banyak. Selain hukum di Indonesia, ada hubungan internasional, khususnya antarlembaga penegak hukum antikorupsi. Kami juga punya jaringan interpol dan imigrasi. Ada juga jalur diplomatik dengan menggunakan perwakilan RI,” kata Laode.
Penetapan tersangka terhadap Sjamsul ini dilakukan berdasarkan pada putusan hakim sejak pengadilan tingkat pertama terhadap Syafruddin. Dalam pertimbangannya, sesuai dengan Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif Badan Pemeriksa Keuangan, ditemukan kerugian negara sebesar Rp 4,58 triliun. Pihak yang diperkaya atas tindakan Syafruddin itu adalah Sjamsul.
Setelah melakukan serangkaian penyelidikan hingga ditemukan bukti permulaan yang cukup, Sjamsul dan Itjih menjadi tersangka dengan jeratan Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20/2001 tentang Tipikor juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP.
Perkara ini berawal dari kucuran dana BLBI kepada BDNI sebesar Rp 47,2 triliun. Dalam penggunaannya, BDNI melakukan penyimpangan sehingga BPPN mengategorikannya sebagai bank yang melanggar hukum atau bertransaksi tidak wajar yang menguntungkan pemegang saham, dalam hal ini Sjamsul.
Namun dalam penyelesaian kewajibannya melalui pola perjanjian Master Settlement Acquisition Agreement (MSAA), Sjamsul ingkar dengan memberikan aset yang bermasalah, yaitu PT Dipasena Citra Darmaja yang terlilit kredit macet.
Kini, KPK juga mengincar aset-aset yang dimiliki Sjamsul untuk membayar kerugian negara. Saat ini, pelacakan aset masih terus dilakukan dan tidak menutup kemungkinan untuk mengembangkan perkara ke ranah tindak pidana pencucian uang.