Memproduksi dan menyebarkan konten atau narasi untuk menjadi viral telah menjadi tujuan bagi sejumlah orang yang mengakses media sosial. Ironisnya, ketepatan fakta kerap dikesampingkan demi konten menjadi perbincangan luas.
Oleh
MUHAMMAD IKHSAN MAHAR
·4 menit baca
Memproduksi dan menyebarkan konten atau narasi untuk menjadi viral telah menjadi tujuan bagi sejumlah orang yang mengakses media sosial. Ironisnya, penyebaran informasi yang disampaikan di dunia maya itu tidak sepenuhnya dapat dipertanggungjawabkan. Ketepatan fakta kerap dikesampingkan demi konten menjadi perbincangan luas.
WN (54) tidak pernah membayangkan konten yang dibuatnya di media sosial bakal berujung pada perkara hukum. WN membuat narasi sekaligus menyebarkan kabar bohong terkait kebocoran server Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan tentang adanya pengaturan kemenangan 57 persen bagi calon presiden tertentu pada Pemilu 2019. Perekaman video berisi kabar bohong itu dilakukan di rumah mantan Bupati Serang, Banten, Ahmad Taufik Nuriman.
Video yang ia produksi menjadi viral, disebarkan belasan akun di Facebook, Twitter, dan Youtube. Narasi yang ia sampaikan di video itu pun dianggap sebagai kebenaran oleh sejumlah pihak. Ketika diperiksa penyidik Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim, WN mengakui telah menggunakan informasi yang belum jelas kebenarannya dari media sosial untuk disebarkan secara masif melalui video yang dibuatnya. Meski begitu, tujuan awal WN membuat konten tersebut ”berhasil”. Pasalnya, video itu menjadi perbincangan sehingga Komisi Pemilihan Umum melapor ke Bareskrim Polri terkait dugaan penyebaran kabar bohong.
WN hanya satu dari sekian penyebar kabar bohong terkait politik di Indonesia. Hasil Riset Masyarakat Anti Fitnah Indonesia menunjukkan, pada Januari-Maret 2019 beredar 207 hoaks politik dan 113 hoaks lain (Kompas, 11/6/2019).
Kepala Subdirektorat II Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri Komisaris Besar Rickynaldo Chairul mengungkapkan, penangkapan terhadap tersangka penyebar berita palsu dan ujaran kebencian mayoritas dilakukan setelah tim penyidik melakukan langkah persuasif. Upaya persuasif ditempuh agar penyebar hoaks di media sosial memahami bahwa tindakannya melawan hukum.
Para penyebar hoaks dan ujaran kebencian di media sosial, kata Rickynaldo, memiliki dua karakter. Pertama, mereka yang menyebar hoaks karena tidak mengetahui adanya aturan hukum, utamanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Setelah diedukasi, mereka berjanji tidak mengulangi perbuatan itu. Kedua, mereka yang sudah tahu dampak negatif hoaks, tetapi tetap menyebarkannya.
Tergiur ”penghargaan”
Psikolog Ratih Ibrahim menilai, hoaks yang menyebar di dunia maya telah direncanakan dan dikonsep, baik secara matang maupun serampangan.
Menurut Ratih, penyebar hoaks cenderung tergiur ”penghargaan” apabila pesan palsu yang disebarkan menjadi pusat perhatian, viral, sehingga ia menjadi terkenal. Bahkan, bagi seseorang yang memiliki ciri kepribadian narsistik, meraih perhatian jadi kebutuhan.
”Semakin terkenal semakin membuatnya senang. Bahkan jika ketenaran itu sifatnya kontroversial atau merugikan orang lain,” kata Ratih.
Dalam tulisan bertajuk ”The Spread of True and False News Online” yang dipublikasikan Science (2018), Soroush Vosoughi, Deb Roy, dan Sinan Aral menyebutkan, ada sisi kepuasan emosi ketika menyebarkan berita palsu dibandingkan dengan berita fakta. Ketika mengonsumsi berita terkonfirmasi di media sosial, kata Vosoughi dkk, pembaca umumnya menghasilkan perasaan senang, ketidakbahagiaan, ekspektasi, dan kepercayaan.
”Namun, membaca berita palsu dapat memproduksi perasaan kagum, khawatir, terkejut, dan muak. Emosi dan perasaan itu memiliki peran penting ketika memutuskan untuk membagi sesuatu di media sosial,” kata mereka.
Lebih lanjut, penyebaran berita di dunia maya tidak bisa dilepaskan dari adanya sensasi kesenangan atau sesuatu yang baru, terutama kehadiran berita palsu.
Hoaks bernuansa politik rata-rata menyentuh 20.000 akun dan dapat tersebar tiga kali lebih cepat dibandingkan dengan hoaks berkonten lain. Adapun hoaks nonpolitik rata-rata hanya meraih 10.000 akun. Temuan itu didasari penelitian terhadap penyebaran berita, baik fakta maupun hoaks, di Twitter selama 2006-2017.
Omong kosong
Gordon Pennycook dan David G Rand dalam tulisan berjudul ”Who Falls for Fake News? The Roles of Bullshit Receptivity, Overclaiming, Familiarity, and Analytic Thinking” (2017) mengategorikan hoaks sebagai omong kosong, bukan kebohongan. Mereka mengatakan, kebohongan ialah upaya disengaja untuk menyembunyikan kebenaran. Sementara omong kosong, dalam kasus kabar palsu, diproduksi untuk menarik perhatian sosial dan politik tanpa memedulikan suatu kebenaran.
Menurut Pennycook dan Rand, seseorang yang cenderung memercayai berita palsu umumnya memiliki tingkat kognitif rendah. Alhasil, mereka cenderung tak memiliki sikap skeptis dan pemikiran analitis untuk menelaah informasi yang diterima.
Atas dasar itu, lanjut keduanya, hoaks atau berita palsu cenderung lebih disukai individu dengan karakteristik tertentu. Di antaranya, mereka yang cenderung berlebihan merespons ketidakbenaran, individu yang menerima omong kosong, individu yang suka klaim berlebihan terhadap informasi tertentu, dan individu yang telah ”terkontaminasi” kabar palsu sebelumnya sehingga persepsi tentang akurasi sudah terpengaruhi.
Ketika hoaks menjadi ”wabah” di era digital saat ini, kita hanya bisa berharap semoga mampu berpikir kritis agar tidak terjerumus dalam omong kosong dan kebahagiaan semu yang diciptakannya. Semoga….