Ketiadaan Ketentuan Hukum Penyiksaan Dikhawatirkan
Oleh
Ingki Rinaldi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Ketiadaan ketentuan hukum mengenai kejahatan penyiksaan dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dikhawatirkan membuat tidak akan ada aparat keamanan yang diajukan ke muka hukum menyusul tidakan represif yang dilakukan pada peristiwa 21-23 Mei di Jakarta. Persoalan tersebut tak kunjung mampu diselesaikan pemerintah Indonesia bahkan sejak reformasi 21 tahun lalu.
Hal tersebut mengemuka dalam konferensi pers yang diadakan Amnesty International Indonesia, Selasa (25/6/2019). Peneliti Amnesty International Indonesia Papang Hidayat mengatakan, oleh karena itulah, pihaknya merekomendasikan agar kejahatan penyiksaan dimasukkan dalam kodifikasi hukum pidana di Indonesia.
Tidak adanya ketentuan atau dasar hukum terkait kejahatan penyiksaan membuat aparat keamanan yang melakukannya cenderung tidak bisa diajukan ke muka peradilan pidana. Hukuman yang diberikan cenderung hanya bersifat internal berupa sanksi etik atau hukuman disipliner.
Papang menambahkan, draf Rancangan KUHP sudah bertahun-tahun tidak kunjung disahkan. Indonesia mungkin bisa belajar dari Filipina yang membuat rancangan UU khusus anti penyiksaan, alih-alih membuat undang-undang baru. Di dalamnya, termasuk pula mengadopsi sejumlah aturan dalam Konvensi PBB untuk menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat (CAT).
Aviva Nababan, yang juga peneliti Amnesty International Indonesia menambahkan, Indonesia sudah 21 tahun menjadi negara pihak Konvensi PBB untuk menentang penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat (CAT). Akan tetapi sejauh ini diskursus mengenai penyiksaan di Indonesia cenderung masih rancu dengan penganiayaan.
Ia menambahkan, peristiwa 21-23 Mei juga mengingatkan pada laporan Amnesty International sepuluh tahun silam yang berjudul “Unfinished Business: Police Accountability in Indonesia” atau Perkara yang Belum Tuntas: Akuntabilitas Polisi di Indonesia. Pada saat itu, Amnesty International menghimbau pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah tegas guna penyelidikan cepat, independen, tidak berpihak, dan afektif terhadap laporan-laporan dugaan penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya oleh polisi serta memastikan hasil penyelidikan itu dibuka kepada publik.
Menurut Aviva, laporan sepuluh tahun lalu itu dilatarbelakangi evaluasi setelah sepuluh tahun reformasi, ternyata lembaga kepolisian dinilai masih belum cukup mengemban amanat reformasi. Hal itu, terutama terkait dengan aspek akuntabilitas.
Aviva mengatakan, kepolisian memang membuat sejumlah peraturan terkait. Misalnya Peraturan Kapolri Nomor 8/2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Selain itu, ada juga Perkapolri Nomor 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisan. Akan tetapi, imbuh Aviva, niat yang bagus tersebut dalam penerapannya belum cukup bagus.
“Ini (dalam peristiwa 21-23 Mei) kita ingatkan lagi, (karena) terjadi lagi,” ujar Aviva.
Periksa Dugaan
Selain itu, Amnesty International Indonesia juga meminta agar dilakukan investigasi secara efektif dan independen. Papang menambahkan, pihaknya juga mendorong agar lembaga-lembaga terkait seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI memeriksa adanya dugaan pelanggaran HAM
Ia menambahkan, hal itu bukan berarti pihaknya menilai bahwa keseluruhan penanganan peristiwa 21-23 Mei dilakukan dengan kekerasan. Akan tetapi ada sejumlah kondisi dimana sejumlah orang sudah tidak berdaya, namun cenderung masih dilakukan penyiksaan.
“Bahkan dalam kondisi konflik bersenjata, dalam perang, (penyiksaan) ini diharamkan. Ini kritik kita pada polisi soal penyiksaan,” ujar Papang.
Terkait dengan hal tersebut, secara tegas Amnesty International Indonesia dalam siaran persnya menyatakan bahwa satuan Brimob Polri melakukan pelanggaran HAM berlapis dan serius di Kampung Bali, Jakarta dan sekitarnya pada peristiwa 21-23 Mei. Bahkan, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid, pada hari yang sama membuat surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo tentang penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya oleh polisi selama demonstrasi setelah pengumuman hasil pemilu tanggal 21-23 Mei lalu.