JAKARTA, KOMPAS - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia masih menyelidiki keberadaan 32 orang yang belum ditemukan pasca unjuk rasa dan kerusuhan, 21-22 Mei. Sementara itu, Kepolisian Negara RI memastikan akan selalu membuka diri untuk berkoordinasi dengan lembaga pengawas dalam rangka mengungkap secara tuntas peristiwa tersebut.
Jumlah 32 orang yang belum diketahui keberadaannya itu didasari laporan masyarakat yang diterima Komnas HAM. Sebelumnya, Komnas HAM menerima aduan terhadap 70 orang yang hilang pasca mengikuti unjuk rasa di depan gedung Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), 21-22 Mei.
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengungkapkan, berdasarkan aduan masyarakat itu, pihaknya melakukan pencarian dan klarifikasi ke Kepolisian Negara RI yang menahan 447 orang pelaku kerusuhan, lalu ke sejumlah rumah sakit yang menangani korban luka dan korban jiwa, serta sejumlah lokasi yang dianggap sebagai tempat aman oleh orang-orang itu, terutama rumah kerabat dan kerabat.
“Kita telah klarifikasi dan menemukan keberadaan sebagian dari mereka yang ditahan di kantor polisi, dirawat di rumah sakit, dan rumah kerabat. Tetapi, kita terus mendalami keberadaan 32 orang yang belum diketahui keberadaannya saat ini,” ujar Anam, Rabu (10/7/2019), di Jakarta.
Terkait adanya orang hilang itu, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo menuturkan, tim investigasi Polri terus melakukan koordinasi dengan lembaga pengawas, yaitu Komnas HAM, Ombudsman RI, dan Komisi Kepolisian Nasional mengenai penyelidikan kasus kerusuhan 21-22 Mei.
“Kepala Polda Metro Jaya sudah membuka diri terhadap laporan dan temuan dari masyarakat sipil. Selain itu, Komnas HAM juga bisa langsung berkomunikasi dengan Bareskrim Polri untuk meluruskan setiap isu yang berkaitan dengan peristiwa kerusuhan itu,” tutur Dedi.
Dugaan penyelewengan
Selain temuan orang hilang itu, Komnas HAM juga tengah mendalami 10 rekaman video yang diduga menunjukkan adanya peristiwa kekerasan yang dilakukan oknum kepolisian kepada peserta unjuk rasa atau pelaku kerusuhan, seperti yang terjadi di kawasan Kampung Bali, Jakarta Pusat. Akibat peristiwa di Kampung Bali, sebanyak 10 anggota Brigade Mobil Nusantara dihukum 21 hari penahanan di ruang khusus.
“Kami tengah mendalami video itu apakah merupakan bagian dari penyalahgunaan wewenang atau pelaksanaan prosedur operasi standar. Dua hal itu beririsan tipis karena perlu didapatkan bukti adanya serangan yang diterima aparat kepolisian atau tidak,” kata Anam.
Sebelumnya, pada Senin dan Selasa lalu, tim Polri juga telah menerima Direktur Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid yang menyampaikan temuan terhadap penyelidikan kasus kerusuhan. Ia menuturkan, pihaknya menemukan adanya dugaan kekerasan oknum kepolisian selain peristiwa di Kampung Bali.
Usman berharap tim investigasi Polri juga menyelidiki dugaan kekerasan itu dan memberikan hukuman tegas kepada oknum kepolisian yang terlibat.
Di sisi lain, Anam berharap Polri segera mengungkap auktor intelektual dalam kasus kerusuhan yang menyebabkan sembilang orang tewas. Ia menyatakan, Polri telah melakukan uji balistik terhadap temuan proyektil di dua tubuh korban jiwa, sehingga bisa memperkecil spektrum peristiwa tersebut. Temuan luka tembak di tubuh korban, lanjutnya, juga menunjukkan aksi penembakan itu dilakukan oleh orang yang terampil dan rapi dalam melakukan aksi.
“Pelaku ini tidak hanya terampil menembak, tetapi juga terampil pasca penembakan. Alhasil, perlu pendalaman dan komitmen tinggi dari Polri untuk mengungkap kasus itu hingga ke akarnya,” ujarnya.