JAKARTA, KOMPAS - Panitia seleksi calon pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi 2019-2023 diingatkan untuk memerhatikan faktor independensi kandidat. Hal ini dinilai sangat penting untuk mencegah kemungkinan adanya konflik kepentingan dalam pemberantasan korupsi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, Jumat (12/7/2019), secara khusus menyoroti kandidat yang berasal dari latar belakang kepolisian dan kejaksaan. Sebab, menurut Kurnia, reformasi terkait upaya pemberantasan korupsi di kedua lembaga tersebut belum terlihat.
Ia khawatir jika calon-calon dari dua lembaga itu nantinya terpilih menjadi pimpinan KPK dan kelak mungkin menangani kasus korupsi dengan pelaku berasal dari institusi tempatnya bernaung sebelumnya, maka obyektivitas mereka menjadi diragukan. Padahal, Pasal 3 UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Selain itu, Kurnia juga mengatakan, figur-figur terbaik dari kepolisian dan kejaksaan tersebut lebih bagus jika diberdayakan dalam tubuh instansi asal. Tidak perlu ada kandidat dengan latar belakang kepolisian berbondong-bondong dikirimkan untuk mengikuti seleksi capim KPK, sementara pada saat yang sama belum banyak perubahan terjadi di institusi Polri.
“Kalau memang figur-figur (polisi) itu diklaim sebagai orang yang berani dan berintegritas, ya sebaiknya orang-orang itu diletakkan di pos-pos khusus, mungkin yang fokus pada pembenahan (dan program) anti korupsi di internal kepolisian,” sebut Kurnia.
Lebih jauh Kurnia menambahkan, bahwa Pansel KPK mesti melihat rekam jejak para kandidat. Ini tidak hanya menyangkut persoalan hukum namun juga persoalan etik, dan perbincangan publik yang menganggagap sebagian calon punya catatan negatif. Ia menambahkan, sejauh ini ICW belum melakukan pelacakan rekam jejak para kandidat lain yang berasal dari kalangan masyarakat umum.
Senada dengan hal itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia (TII), Dadang Tri Sasongko mengatakan bahwa kepolisian akan lebih baik jika memfokuskan peran di Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar atau Satgas Saber Pungli. Satuan itu dibentuk dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87/2016.
“Ini kan lama tidak terdengar apa yang dilakukan kepolisian di Tim Saber Pungli,” kata Dadang.
Menurut Dadang, akan lebih baik jika anggota kepolisian yang dinilai punya kemampuan terbaik untuk difokuskan pada tugas-tugas di Satgas Saber Pungli. Pasalnya dengan demikian akan melengkapi tugas-tugas KPK.
Dalam hal ini, imbuh Dadang, KPK lebih mengurusi tindak pidana korupsi yang skalanya relatif besar dan cenderung bernuanasa politis. Sementara Satgas Saber Pungli lebih berfokus pada kasus-kasus yang melibatkan birokrasi.
Dadang juga mengingatkan bahwa yang penting dilakukan saat ini adalah melihat rekam jejak para kandidat apakah di masa lalunya mendukung upaya pemberantasan korupsi atau justru melemahkannya. Hal ini bisa dengan relatif mudah ditelusuri, misalnya, jika kandidat tersebut adalah advokat maka bisa dilihat rekam jejak profesionalnya apakah pernah membela tersangka koruptor ataukah tidak.
Independensi kandidat juga ditekankan Dadang menjadi hal penting yang mesti diperhatikan. Menurut dia, harus dapat dipastikan bahwa mereka tidak terikat dengan lembaga tempat bernaung sebelumnya, sehingga nantinya tidak punya beban konflik kepentingan antara lembaga tersebut dengan KPK.